Ketika Nyawa dan Lingkungan Jadi Taruhan

Kini, lama setelah masa Gie dan kawan-kawannya di Mapala UI menelusuri gunung dan rimba tahun 60an silam, pendakian gunung menjelama menjadi industri pariwisata besar dengan jutaan peminat tiap tahunnya.

Sebagian pendaki ingin mencari jeda di antara cepatnya kehidupan kota. Sebagian lainnya hanya ingin mencoba. Ada yang memang menyukai tantangan. Ada pula yang ingin melihat yang bukan-sehari-hari. Dan, untuk yang lain, mendaki sudah menjadi bagian dari pengembaraan diri. Berbeda-beda. Motivasi untuk mendaki benar-benar menjadi milik pribadi.

Namun, barangkali ada satu hal yang menjadi kesamaan para pendaki: mereka menghadapi gunung-gunung yang sama, yang tipis udaranya, yang keras iklimnya, yang menggigit suhunya, yang berat medannya. Apa lagi kesamaannya? Mungkin bisa kami tambahkan: risiko yang sama, baik risiko keselamatan diri maupun risiko bagi kelestarian gunung yang dikunjungi.

Coba ingat-ingat seberapa sering kita mendengar berita seorang pendaki meninggal atau hilang di gunung? Atau seberapa jengah kita melihat foto-foto sampah di gunung berseliweran di media sosial? Dua hal tersebut rasanya makin sering menjadi sajian di berbagai lini media yang kita lihat sehari-hari.

Pendakian dan kecelakaan
Mungkin masih melekat dalam ingatan kita tentang kasus Alvi, pendaki yang hilang di Gunung Lawu (3.265 mdpl) pada akhir 2018 lalu dan belum ditemukan hingga sekarang. Atau kasus tiga orang pendaki Gunung Tampomas (1.684 mdpl) yang meregang nyawa karena hipotermia di dalam tenda mereka sendiri. Yang terakhir, Thariq ditemukan tak bernyawa Juli lalu setelah hilang dua minggu di Gunung Piramid (1.512 mdpl), Bondowoso, Jawa Timur.

Sepanjang 2019, setidaknya 17 kawan pendaki tercatat hilang atau meninggal di gunung-gunung di Indonesia. BASARNAS juga melaporkan bahwa kasus kecelakaan yang menimpa para pendaki jumlahnya meningkat tiap tahun. Sedikitnya, 26 pendaki meninggal dari 130 kasus yang dilaporkan sejak 2015 hingga akhir 2018. Penyebab kecelakaan tersebut, sebagaimana dirangkum Tanah Tinggi, didominasi oleh hipotermia/sakit (47%), tersesat/hilang (29%) dan kecelakaan (24%).

Bila kita bandingkan antara jumlah kasus kecelakaan yang pernah terjadi dengan jumlah kunjungan pendaki setiap tahunnya, mungkin persentasenya sangatlah kecil. Tapi, kami yakin bahwa setiap nyawa sangatlah berharga. Dan seberapa besar kepedihan dan kerugian yang bisa ditekan apabila kita dapat meminimalisir risiko seperti ini.

Pendakian dan lingkungan
Selain kecelakaan dan kematian, sampah adalah mimpi buruk lain dari dampak pendakian. RĂ©mi Colbalchini, pendaki asal Perancis, memberikan komentar getir tentang hal ini. Setelah berhasil mendaki 21 gunung berapi di Indonesia, dia bilang mengikuti sampah adalah cara terbaik agar tidak tersesat di gunung-gunung Indonesia.

Tidak cukup mengherankan sebenarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulan sampah di beberapa gunung di Indonesia memang tinggi (Syakur, 2017; Asy’arie, 2018). Sebagai contoh, estimasi Tanah Tinggi untuk potensi sampah di Gunung Semeru dengan pengunjung hampir 200.000 orang di tahun 2018 adalah sebesar 27 ton sampah dengan 6,5 juta potong plastik.

Sementara, kebanyakan base camp pendakian belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang tepat. Sebagian besar sampah hanya dibakar di pos pendakian atau di tempat penampungan. Sebagian lainnya ditimbun di lokasi yang sama. Di Gunung Lawu, misalnya, dari keterangan Perhutani, sekitar 40% sampah pendaki dibakar, 30% ditimbun dan selebihnya diperkirakan berserakan di lingkungan terbuka. Hanya sebagian kecil yang dipilah oleh pemulung lokal untuk dijual.

Jenis pengelolaan seperti ini memiliki risiko lingkungan yang besar. Hasil pembakaran dan penimbunan berisiko besar mencemari air dan tanah yang penting untuk pertanian dan kehidupan warga sekitar. Hasil pembakaran juga menghasilkan zat beracun yang membahayakan kesehatan dan memperparah efek pemanasan global. Belum lagi dampak negatif untuk hutan dan satwa liar di sekitar jalur pendakian.

Siapa yang rugi? Kita sendiri. Kita sangat bergantung pada gunung untuk air yang kita minum dan juga makanan yang terhidang di meja setiap hari.

Bisakah pendakian kita aman untuk diri dan lingkungan?
Apabila nyawa dan juga lingkungan yang menyokong hidup kita malah menjadi taruhan, terus untuk apa kita mendaki? “Ya udah sih, kalau ga penting-penting banget ga usah naik gunung,” kata seorang rekan kami ketika berdiskusi tentang hal ini. “Lalu aku ditimpuk para pendaki se-Indonesia. Hahaha,” candanya.

Barangkali, untuk jenis pariwisata yang sedang diminati, tentu saja “tidak mendaki” bukanlah opsi penyelesaian yang menyenangkan untuk masalah ini. Hm… atau mungkin memang ini solusi terbaik?

Akhir Juli 2019 kemarin, kami mengadakan kegiatan diskusi komunitas bernama SRAWUNG (Sharing Wawasan Gunung) di Yogyakarta. Setidaknya, tiga puluh orang pendaki saling bertukar pikiran dan berbagi solusi menanggapi isu pendakian yang aman dan ramah lingkungan dalam acara tersebut.


Sesi diskusi SRAWUNG 30 Juli 2019 di Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta/Tanah Tinggi
Dalam SRAWUNG, para pendaki tidak menampik bahwa kegiatan pendakian adalah kegiatan alam-bebas yang cukup berat. Hingga akhir 90an, kegiatan ini masih banyak dilakukan oleh kelompok pecinta alam yang mendapat kesempatan belajar tentang teknik-teknik pendakian.

Saat ini, peminat kegiatan pendakian lebih beragam, baik dari segi usia atau latar belakang—terima kasih pada majunya teknologi digital yang memperlancar arus informasi. Sayangnya, media dan juga minat belajar masyarakat terkait ilmu-ilmu praktis dalam pendakian masih terbatas dan rendah. Ketertarikan masyarakat terhadap gunung masih berputar pada cerita atau gambar tentang keindahan gunung ketimbang konten yang berisi ilmu.

Tentu saja risiko kecelakaan dan dampak lingkungan akan semakin besar apabila seorang pendaki tidak membekali diri dengan pengetahuan dan persiapan yang matang untuk mendaki.

Satu tawaran
Solusi yang diusulkan oleh para pendaki yang datang di SRAWUNG adalah saling mengedukasi secara positif lewat media informasi dan media sosial. Salah satunya caranya adalah memberikan keragaman informasi yang kemudian disebarkan lewat ragam media tersebut, baik dalam lingkup pertemanan kecil maupun komunitas. Dewasa ini sebagian besar unggahan di media adalah foto dan cerita yang menggambarkan keindahan rupa fisik gunung. Ini harus mulai diimbangi dengan konten unggahan edukatif yang positif terkait pendakian yang aman dan ramah lingkungan.

Di era digital seperti saat ini, media adalah sesuatu yang superpower. Pendakian menjadi sangat trendi karena kemudahan akses informasi. Maka, kami juga yakin bahwa dengan memanfaatkan media kita juga dapat saling berbagi ilmu dan belajar untuk menjadi pendaki yang lebih bertanggung jawab terhadap keamanan diri dan kelestarian lingkungan, karena manusia bisa belajar dan manusia bisa pula menjadi lebih baik.

Jadi, maukah kamu berbagi ilmu di platform media-mu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar