Bertualang ke Gunung Papandayan

gunung papandayan
Tepat pukul 01.10 WIB, sepulang kerja, kami bertiga bergegas menuju sebuah pasar induk yang berada di daerah Cibitung, Kabupaten Bekasi. Kami ke pasar untuk mencari truk sayur yang bersedia membawa kami ke Garut. Kami akan mendaki Gunung Papandayan, gunung yang terkenal dengan hutan matinya.

Setiba di pasar, kami segera mencari supir truk sayur yang bersedia menumpangi kami.

“Mang, truk mau jalan ke mana? Garutkah?” Kucoba bertanya pada seorang pengemudi truk.

“Betul, Mang. Mau ka Garut,” jawabnya.

“Berapa uang, Mang, untuk satu orangnya?” lanjutku bertanya.

“Empat puluh ribu, Mang,” jawabnya dengan nada pelan.

Namun secangkir kopi mengubah segalanya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ongkos yang semua Rp 40 ribu berhasil kami nego menjadi Rp 25 ribu saja. Kami pun semakin gembira.

gunung papandayan
Di dalam bak truk menuju Garut/Hanantyo A. Widarmawan
Tepat pukul 02.00 WIB, truk sayur bergegas berangkat menuju Garut. Tak lupa kami berdoa agar Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi kami sampai tujuan. Diselimuti udara yang amat dingin, kami menikmati perjalanan sambil berbaring menatap langit dan bintang-bintang yang memesona. Sungguh nikmat yang tidak bisa didustakan.

Truk pun akhirnya berhenti. Ternyata kami sudah di Garut. Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 05.30 WIB. Kami turun dari truk lalu berjalan mencari masjid untuk beribadah.

Sesudah itu kami lanjutkan perjalanan menuju base camp mengunakan angkutan kota. Sesampai di gerbang masuk, kami beralih ke ojek. Selang sebentar kami sampai di Base Camp Gunung Papandayan. Sebelum mulai nanjak, kami beristirahat sejenak. Sarapan dulu, mengisi tenaga agar pendakian bisa berjalan dengan lancar.

gunung papandayan
Jalur berbatu di Gunung Papandayan/Hanantyo A. Widarmawan
Menikmati petualangan di Gunung Papandayan
Setelah briefing, pukul 08.00 WIB kami memulai pendakian. Kami berjalan santai sambil menikmati pemandangan sekitar. Tak lupa saling menyapa dengan sesama pendaki yang kami temui sepanjang jalan.

Disuguhi jalan berbatu di awal perjalanan, mau tak mau kami harus hati-hati dalam setiap langkah. Setapak demi setapak kaki kami terus berjalan menempuh tanjakan-tanjakan itu. Selang beberapa waktu, tepatnya pukul 11.00 WIB, akhirnya kami tiba di lokasi perkemahan. Tanpa berpikir panjang kami langsung mencari tempat dan mendirikan tenda.

Setelah berbaring cukup lama dan mengisi tenaga dengan bekal makanan yang dibawa, akhirnya tenaga kami sudah mulai penuh kembali. Pukul 14.30 WIB kami pun bergerak menuju puncak bersama dengan pendaki-pendaki lain.

gunung papandayan
Hutan Mati yang menjadi ikon Gunung Papandayan/Hanantyo A. Widarmawan
Berjalan sebentar saja kami sudah tiba di Hutan Mati yang indah sekali. Inilah yang menjadi ikon dari Gunung Papandayan. Panoramanya yang memukau mata membuatku betah berlama-lama—dan berfoto-foto ria—di sana.

Dari Hutan Mati kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun. Setiba di sana kami disambut padang edelweiss. Konon inilah padang edelweiss terluas di Asia Tenggara. Berada di sana membuatku sangat gembira. Rasa lelah dibayar lunas oleh hati yang penuh rasa syukur dan bahagia.

Sebetulnya kami ingin menuju puncak Gunung Papandayan. Namun jalur yang sudah ditumbuhi ilalang setinggi dada mengurungkan niat kami untuk menapakkan kaki di titik tertinggi Gunung Papandayan. Apalagi matahari sebentar lagi akan terbenam. Kami mesti segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke tenda.

gunung papandayan
Padang edelweiss Tegal Alun yang konon terluas di Asia Tenggara/Hanantyo A. Widarmawan
Malam yang penuh makna
Malam itu udara sangat dingin sampai-sampai kami harus membuat api unggun yang besar. Udara dingin itu jugalah yang membuat kami lebih memilih untuk kelayapan dan bercengkerama dengan pendaki-pendaki lainnya, ketimbang bertahan di tenda.

Bersama para pendaki lain, kami ngobrol ngalor-ngidul, yang meskipun tidak jelas namun bisa membuat kami menjadi akrab. Bernyanyi dan bercanda bersama membuat malam itu penuh makna. Ketika malam sudah cukup larut barulah kami kembali ke tenda untuk tidur.

Suara azan berkumandang dari salah satu ponsel. Tandanya kami harus bangun dan beribadah. Saat berwudu, air itu terasa sangat dingin. Dingin sekali. Tubuhku bergetar tapi harus tetap tegar.

gunung papandayan
Padang rumput dan semak-semak yang menguning/Hanantyo A. Widarmawan
Sebelum merobohkan tenda, kami membuat sarapan terlebih dahulu. Perut perlu diisi untuk perjalanan turun. Kami menyantap mie rebus yang entah kenapa terasa begitu lezat. Setelah makan, tenda kami bongkar dan semua peralatan kami muat ke dalam tas gunung.

Kawan-kawan yang dengan mereka kami bercengkerama tadi malam sudah muncak duluan. Kami berpamitan dengan menyelipkan sepucuk surat pada tenda mereka. Setelahnya kami pun melangkah turun, hanya meninggalkan jejak; jejak-jejak yang kelak akan terus kami ceritakan.

Dengan Primajasa, kami kembali ke bekasi. Dalam bis nyaman itu kami tertidur pulas dan bermimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar