Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya eps 2

Memutuskan Untuk Turun

Akhirnya tanpa pikir panjang aku memilih untuk turun. Sebelumnya sempat aku bicarakan bersama Mas Gale tentang keadaan ini, berkompromi dengan teman-teman lainnya lalu mereka setuju dan kubiarkan mereka berenam tetap mendaki, aku dan Hari turun. logistik yang ada di tasku dan tasnya Hari dikeluarkan dan kuberikan pada teman-teman untuk kebutuhan di atas, aku dan Hari-pun turun. Aku berpikir ada baiknya ketahuan dari sekarang, sehingga kami bisa turun sebelum gelap daripada sudah sampai di beberapa pos baru ketauan Hari drop, bisa lebih repot urusannya. Apalagi kalau drop di pos 4 (Samarantu), hiiiii amit-amit deh.


Perjalanan Menuju Basecamp Gunung Slamet via Dipajaya. Photo by @fidha-riani
Selama perjalanan turun kami berdua berjumpa dengan beberapa pendaki setelah melewati pos 1. Hari semakin gelap dan tidak ada pendaki lain yang nanjak, tinggalah kami berdua. Hari sudah merasa ketakutan karena terdengar suara gaduh langkah yang sangat banyak. Pikirku saat itu kami dikepung. Aku sempat selfie di beberapa lokasi, kebiasaan lama yang kulakukan lagi. Benar saja saat di basecamp aku mengecek beberapa foto ada saja yang tertangkap kamera. Bayangan putih seperti perempuan sedang mengelus-elus perut, perempuan berambut hitam panjang sekali, dan sebuah wajah yang memantau kami dalam semak semak pepohonan. Bahkan saat itu suara gaduh, suara aneh, bahkan ada saja suara panggilan ‘cuy’, ‘eh’, ‘woi’ bersaut-sautan.

Kami berdua sudah tidak memperdulikannya lagi saat itu, kami tetap mempercepat langkah kami. Ketika kulihat rembulan putih tertutup awan putih aku berharap awan itu takan bergeser dari peraduannya, jangan sampai rembulan itu nongol dengan sinarnya. Namun harapanku sia-sia, perlahan sang awan menggeser membiarkan rembulan memancarkan sinarnya dan sekejap saat itu juga sekelebatan bayangan putih berseliweran melewati kami. Hari semakin memperkencang genggamannya, rasa takutnya berasa aku pun sama namun aku memilih tetap tenang.

Berulangkali kami bergantian jatuh, aku merasa seperti ada yang menarik tanganku keras namun Hari dengan sigap selalu menarik tanganku satunya. “Bagaimanapun kondisinya kita harus tetap sama-sama ya”, Hari tahu dengan kelebihan penglihatanku ini, aku adalah sasaran empun untuk makhluk kasat mata mengajak interaksi denganku. Dibentaknya selalu aku jika terlihat bengong. Hingga akhirnya kami kemalaman di jalan. Rasanya trek turun ini jauh lebih lama daripada trek menanjak. Kami merasakan jalurnya yang sangat panjang berjam jam, padahal normalnya bisa ditempuh hanya dengan 1 jam saja. Tiba-tiba kami baru menyadarinya bahwa kami telah berkali kali tersesat. Lagi-lagi kami berada di ladang warga, di sawah warga dimana tempat itu tidak kami temukan selama penanjakan. Kami terus beristigfar memohon petunjuk hingga akhirnya aku mendengar suara yang cukup serak dan berat bilang, “kowe nopo rak teko nduwur ndo, wes di enteni koh”, (kamu kenapa tidak sampai atas, sudah ditunggu kok), sekejap aku lupa ingatan.

“Nenek” yang Mengantarkan Turun
      Menurut cerita Hari saat kami kesasar, aku terus berjalan dengan mata terpejam. Hari menyadari bahwa aku sudah kerawuhan, namun Hari tetap memilih diam meskipun dia merasa ketakutan. Berkali kali tanganku menghentak genggamannya sambil berkata dengan suara serak dan berat nya “jangan takut” namun Hari hafal jika itu bukan suara asliku. Hari hanya nurut. Sepanjang perjalanan, pocong, wanita cantik, bahkan bocah dingklikpun terlihat seliweran kesana kemari.

Setibanya di gapura selamat datang, aku meminta Hari untuk mencium tangan ku “aku pulang, cium tangan” tetap dengan suara serak berat dan mata terpejam. Lalu aku tersungkur lemas dan nangis nangis. Disitulah Hari menyadari bahwa sedari tadi yang berjalan bersama dia, bukan hanya diriku. Sesampainya di basecamp akupun masih belum sadar. Mas Syamsul yang sudah tahu keadaan seperti ini hanya tertawa dan terus mengajakku berbicara. Menurut cerita Hari, aku bahkan tak merasakan dingin padahal malam itu suhu begitu dingin.

Aku menolak duduk diberi alas, tak mau duduk di kursi hanya mau duduk di lantai dingin dengan obrolan ngalor ngidul tidak jelas. Bahkan aku tak segan-segan minta dibakari kemenyan. Hingga akhirnya Mas Syamsul diam-diam dan komat-kamit membatin, saat itu sosok yang ada di tubuhku mengetahuinya kemudian membentak “ngga usah bisik-bisik kalau bicara”, kontan orang-orang basecamp tertawa. Bahkan tengah malampun aku kuat mandi dan keramas dengan air dingin. Aku hanya merasakan aku mandi dengan air hangat yang telah di sediakan oleh 2 bocah kecil baik hati itu. Pantas saja saat aku masuk kembali kedalam basecamp semua mata melihatku heran, mungkin mereka pikir wanita gila tengah malam mandi keramas. Sampai akhirnya aku merasakan tubuhku lelah dan menangis lalu kembali tidur dan menangis lagi lalu tidur. Mas Syamsul sangat baik hati menjaga ku dan siap sedia di saat aku kerawuhan.


Suasana Ketika Makan Bersama. Photo by @fidha-riani
Keesokan hari nya, aku baru menyadari bahwa aku datang bulan dengan derasnya. Saat ku dengar cerita Hari, aku baru sadar jangan-jangan aku gampang kerawuhan karena aku di keadaan sedang datang bulan, wallahualam.

Namun aku sangat bersyukur di pertemukan oleh sang nenek yang menuntun aku dan Hari keluar dari tersesatnya kami di hutan jalur pendakian Gunung Slamet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar