Mendaki Gunung Arjuno via Lawang

Sebelumnya, saya dan seorang teman ingin mengikuti pendakian bersama ke Gunung Semeru. Memang, Gunung Semeru adalah dambaan para pendaki. Mereka ke sana untuk menginjakkan kaki di Mahameru atau hanya sekadar menikmati keindahan Ranu Kumbolo.

Saat itu kami ingin sekali ke sana. Kami bahkan sudah mendaftar pendakian bersama dan membayar uang registrasi. Tapi, ternyata bulan April 2019 gerbang pendakian Gunung Semeru masih belum dibuka. Agak kecewa karena batal ke sana, kami merencanakan untuk naik gunung di atas 3.000 mpdl sebagai pengganti Semeru. Kami memutuskan untuk ke Gunung Arjuno.

Akhirnya, saya—cewek sendiri—dan tiga orang teman cowok berangkat tanggal 20 April. Rencananya kami akan turun keesokan harinya, 21 April, sebab tanggal 22 kuliah sudah dimulai dan salah seorang teman saya yang masih SMA juga ada ujian. Benar-benar nekat teman satu itu.

Kami berangkat dari Kediri jam 1 siang mengendarai motor. Setiba di Malang, kami makan mi pangsit di warung pinggir jalan. Saat makan di sana, tahu bahwa kami ingin naik gunung sebab kami membawa tas gunung, sang penjual mi ayam memberikan porsi lebih banyak untuk tiga teman saya.

peta gunung arjuno via lawang
Peta pendakian Gunung Arjuno via Lawang/Velina Nur Rahma Afifah
“Ini tak kasih porsi banyak biar kuat mendaki buat mas-masnya,” ujarnya. “Ini buat mbaknya saya kasih porsi biasa saja gapapa, ya, Mbak.”

Setelah salat Asar kami melanjutkan perjalanan dan tiba di base camp Lawang jam 4 sore. Salah seorang di antara kami ada yang sudah pernah ke Arjuno, tapi lewat jalur berbeda, yakni Tretes. Kami langsung registrasi, membayar biaya masuk, lalu di-briefing. Kami memarkir motor dekat dengan titik awal pendakian.

Pukul 16.15 kami berdoa bersama dan mulai mendaki Gunung Arjuno. Di awal pendakian, melewati perkebunan teh warga, kami sering berpapasan dengan pemetik teh yang baru pulang bekerja. Ada yang sampai bertanya, “Wong piro iki seng munggah?” Dalam bahasa Jawa, itu artinya “berapa orang yang naik?” Serentak kami menjawab: “Empat orang, Pak.” “Genep, yowes. Ndang munggah. Ati-ati.” Memang ada mitos yang beredar bahwa jangan naik gunung dalam sebuah tim yang jumlah anggotanya ganjil. Untung saya jadi ikut. Kalau tidak, mungkin teman-teman saya ini naik bertiga, ganjil. Sebenarnya saya hampir gagal ikut ke Arjuno, sebab ada seleksi lomba panjat tebing. Beruntungnya seleksi itu bisa dimajukan.

Melewati shelter, hari sudah gelap. Tapi kami lanjut berjalan dibantu penerangan sebuah headlamp. Kala itu cahaya rembulan sedang bersinar terang sehingga jalan kelihatan jelas.

Setiba di Pos 2 sekitar pukul 19.05, dua teman saya mengambil air. Perlu sekitar setengah jam untuk ke mata air dari Pos 2 lewat jalan yang katanya menurun dan terjal sekali. Kata teman saya, bahkan pernah ada pendaki yang tersesat saat ke mata air. Makanya, rasanya lama sekali menunggu teman-teman kembali, meskipun saya dan seorang teman lain mengisi waktu dengan mengobrol.

Balada botol air
Teman saya yang pernah ke Arjuno sebenarnya sudah meminta bahwa setiap orang membawa dua botol air ukuran besar. Namun, teman saya yang masih SMA itu malah tidak membawa botol sama sekali. Sempat terjadi perdebatan.

Akhirnya saya menengahi mereka. “Sudah. Kita punya enam botol mau gimana lagi. Nggak mungkin ‘kan balik ke bawah cari botol lagi? Kita mau naik atau tetap di Pos 2 untuk mendirikan tenda?”

Lalu kami berunding sambil menyantap makanan ringan. Muncullah keputusan: kita tetap lanjut jalan. Setelah itu kami pun lanjut berjalan. Saya membawa daypack, dua orang teman lain membawa tas gunung, sementara yang seorang lagi juga menggendong daypack. Mereka bertiga selalu bertukar tas jika ada yang merasa kelelahan—kecuali saya. Memang, saya membawa tas yang paling ringan. Tapi, paling tidak itu adalah tas saya sendiri.

gunung arjuno via lawang
Lereng Gunung Arjuno berlapis sabana hijau/Velina Nur Rahma Afifah
Setelah Pos 2, kami melewati sabana, Pager Watu, dan Mahapena. Saat di sabana tiba-tiba rintik hujan turun. Kami semua langsung berhenti untuk memakai jas hujan, antisipasi kalau hujan deras datang menyusul. Ternyata saat kami berjalan agak jauh hujan malah reda. Jadilah kami melepas jas hujan.

Kami tiba di Pos 3 pukul 22.30, sesuai estimasi awal bahwa jarak dua kilometer bisa ditempuh dalam empat jam. Sayangnya, setiba di Pos 3 kami tak bisa mendirikan tenda, sebab ramai sekali dan sudah tidak ada lagi tempat. Akhirnya kami sedikit naik lagi sampai menjumpai tempat landai seperti bekas tenda, di semak-semak yang dirubuhkan. Kami pun langsung memasang tenda dan memasak.

Ketiduran di Pos 4
Kami sekaligus memasak bekal untuk muncak. Selesai masak, kami makan bersama di dalam tenda lalu berbincang-bincang. Setelah itu kami lanjut ke atas, meninggalkan semua barang bawaan kecuali satu daypack berisi sebotol besar air, flysheet, dan bekal makanan. 

Melewati Alas Ngombes, kami tiba di Pos 4 pukul 1.30 dini hari. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar di Pos 4. Menurut perkiraan, perlu 2,5 jam perjalanan dari Pos 4 menuju puncak Gunung Arjuno. Karena ingin melihat sunrise di puncak, kami memilih mengulur waktu di Pos 4 ketimbang menunggu lama di sekitar titik tertinggi Gunung Arjuno. Hanya ada satu tenda yang berdiri di Pos 4, kontras sekali dengan Pos 3 yang ramai.

Tak berselang lama, kami semua, yang bersandar di pohon, ketiduran. Kedinginan, hampir saja kami terkena hipotermia. Lalu jam 2 pagi salah seorang dari kami menyarankan untuk memasang flysheet agar tidak terlalu dingin. Rencananya kami akan bergerak menuju puncak jam 3 pagi. Masih ada waktu sekitar 1 jam untuk melanjutkan tidur. Tapi, karena kedinginan, tangan ini terasa kaku dan tak kuat untuk membentangkan flysheet. Padahal seharusnya anggota badan memang harus digerakkan agar tidak kedinginan.

Akhirnya flysheet terpasang. Kami semua berlindung dan mencoba melanjutkan tidur. Tapi, malam itu tidur kami benar-benar tidak nyenyak. Sering sekali kami terbangun, padahal sarung tangan sudah double, begitu pula jaket. Tapi, flysheet ini memang berguna, untuk berjaga-jaga kalau hujan mendadak turun: cuaca di gunung tidak dapat diprediksi. Langit yang tampak cerah bisa saja tiba-tiba menurunkan hujan; langit yang awalnya berkabut bisa saja tak berujung hujan.

Air yang tersisa segelas kecil
Jam 3 pagi, salah seorang teman membangunkan kami. Tapi, menurut ceritanya, tak ada yang bangun. Semua sudah lelah sehingga tertidur lelap. Jam 4, ketika mendengar keriuhan para pendaki yang hendak muncak, kami bangkit melawan rasa malas, membereskan flysheet, lalu melanjutkan perjalanan ke puncak.

Setelah melewati Cemoro Sewu dan Plawangan, sampailah kami di puncak Gunung Arjuno pukul 7.30. Di sana kami menyantap bekal makanan dan berfoto-foto. Jam 10 pagi, kami turun. Karena berlari-lari, sekitar pukul 12.30 kami sudah tiba kembali di tenda.

puncak gunung arjuno
Puncak Gunung Arjuno/Velina Nur Rahma Afifah
Rencananya, kami hendak memasak dulu sebelum turun ke base camp. Setiba di tenda, saya langsung melepas sepatu dan masuk ke dalam tenda untuk tidur. Saya benar-benar lelah sekali. Dua orang teman memasak dan satu orang lagi tidur di depan tenda—rupanya ia juga kelelahan. Walaupun tertidur, terkadang saya mendengar teman saya mengomentari air minum yang kurang. Masakan terhidang, saya pun dibangunkan untuk makan siang.

Setelah makan, kami semua tidak minum sebab persediaan air sudah sangat menipis. Hanya tersisa satu gelas kecil, yang mereka berikan pada saya. Mungkin mereka merasa kasihan. Tapi, air itu tidak saya minum melainkan saya masukkan ke botol dan saya bawa turun. Perjalanan masih dua kilometer lagi untuk ke sumber air. Cuaca juga panas sekali bikin tenggorokan makin kering. Memang kesalahan kami dari awal membawa air dalam jumlah kurang. Minimal, bawalah dua botol besar per orang agar tidak kekurangan air seperti kami. Apalagi jika mendaki ke Gunung Arjuno via Lawang yang sumber airnya  hanya satu.

Saat turun, teman saya yang masih SMA jalan terlebih dahulu karena kebelet. Kami bertiga tinggal di belakang, berharap menjumpai pendaki lain yang membawa air, sebab tenggorokan kami sudah kering sekali. Saat di sabana, saya minta berhenti supaya bisa minum. Sebenarnya saya sungkan jika saya sendiri yang minum. Akhirnya, saya niatkan untuk membagi sisa air tadi dengan dua teman lain meskipun kami hanya dapat beberapa teguk untuk membasahi tenggorokan kami. Beruntungnya, ternyata saya masih punya susu kotak cair. Saya pun meminumnya, lalu melanjutkan perjalanan.

Dan kami bertiga hampir salah jalur. Berbeda dari saat naik, kami melewati aliran sungai kering. Jalanan berbatu dan turun curam sekali. Namun, selang sebentar, kami kembali ke jalur yang sebenarnya. Kami sampai di Pos 2 pukul 15.30. Ternyata teman saya yang SMA sudah tertidur menunggu kami bertiga. Lalu kami mengambil air di sumber air. Hanya dua botol, sebab kurang dari dua kilometer lagi kami akan tiba di base camp.

Tragedi dalam perjalanan pulang
Setelah menawar dahaga, kami pun lanjut jalan dan tiba di base camp jam 6 sore. Istirahat sebentar, kami langsung pulang sebab teman saya yang SMA akan ujian hari senin—juga harus menggarap kerajinan tangan.

suasana tenda di gunung arjuno
Suasana tenda saat pendakian Gunung Arjuno/Velina Nur Rahma Afifah
Jika tahu dari awal kalau salah seorang di antara kami punya tugas yang belum diselesaikan—atau ujian!—pasti kami tidak akan mengizinkan orang itu ikut. Ini tentu akan berdampak pada dirinya sendiri. Dia pasti akan kepikiran tugas dan ujiannya sehingga mendaki dengan terburu-buru. Hasilnya, ia tak bisa menikmati perjalanan. Seharusnya, saat hendak mendaki atau jalan-jalan, ke mana pun, pastikan kita punya waktu luang yang cukup dan terbebas dari segala tugas yang mengikat—apa pun itu—agar saat pendakian tidak merasa diburu-buru sesuatu.

Sebenarnya saya menyarankan teman saya untuk berhenti di pom bensin dan istirahat sejenak, sebab semua pasti sangat kelelahan dan mengantuk akibat kurang tidur. Tetapi, karena teman saya yang SMA tidak mau, akhirnya kami tetap melanjutkan perjalanan dalam kondisi mengantuk. Saya kasihan dengan teman saya yang mengendarai motor. Jalanan menuju Kediri berkelok-kelok melewati lembahan dan melipir jurang. Saat sudah sampai di Kediri, motor yang saya naiki hampir saja menabrak pembatas jalan—dua kali!—karena teman yang mengendarai motor mengantuk. Untung saja tidak sampai terjadi tragedi yang tak kami inginkan.

Akhirnya saya sampai di rumah pukul 22.30. Tapi, kami bertanya-tanya kenapa dua orang teman kami itu belum datang-datang. Kami sangat cemas, takut terjadi apa-apa dengan mereka.

Ternyata kekhawatiran kami benar. Mereka menabrak pengendara motor lain tidak jauh dari rumah saya dan mengalami sedikit memar dan luka di kaki. Inilah akibatnya mengendarai motor dalam kondisi kelelahan dan mengantuk. Hal ini tentu saja jangan dicontoh. Apabila sudah merasa lelah atau mengantuk, jangan dipaksa untuk berkendara karena akan berdampak buruk pada diri sendiri. Lebih baik pulang terlambat beberapa jam ketimbang harus menginap di rumah sakit selama seminggu. Kesehatan itu sangat mahal harganya. Jadi, sayangi diri kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar