Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya

Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya
“Fid cerita kamu pasti nggak jauh dari mistis deh” Ujar salah satu teman kantor yang kebetulan sudah membaca beberapa tulisan aku di steller. “Ya gimana dong bang, aku kan udah lahir punya mata 3D kaya gini”. “Ada cerita baru lagi nggak Fid?”, “Ada bang, baru kemarin waktu aku nanjak ke Slamet”, “Serius?? Mana, mana aku mau tau ceritanya.”


Basecamp Gunung Slamet via Dipajaya. Photo by @fidha-riani
Awal Rencana Pendakian
Berawal dari rencana pendakian yang sudah lama aku rencanakan bersama Mas Gale, kakak kelasku dulu saat SMA. Meskipun pada awalnya bingung hendak mendaki ke mana, akhirnya Mas Gale mengajakku mendaki Gunung Slamet lewat jalur baru (Jalur Dipajaya) yang berada di Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Mas Gale tahu jalur ini karena dia orang asli Pemalang Jawa Tengah, rumahnya di daerah Semingkir tidak jauh dari Gunung Slamet dan juga rumah mbah putriku. Mas Gale memutuskan untuk membuat group chat pendakian untuk memudahkan kami berkoordinasi karena selain kami adkhirnya ada beberapa tambahan personel yang akan berangkat bersama kami. Dari group chat ini saya akhirnya kenal dan bertemu dengan Mas Handri, Mas Seno, Mas Maston dan Mas Kiki. Dari yang awalnya tidak saling kenal akhirnya jadi teman akrab, bahkan jadi team pendakian yang sangat solid.

Aku juga mengajak dua orang terdekatku untuk ikut pendakian ini, Vincent dan Hari. Rupanya Vincent dan Hari sangat antusias ikut pendakian ini sekaligus untuk mengisi hari libur natal dan tahun baru yang panjang. Hari dan Mas Seno adalah pendaki pemula, mereka sama sekali belum pernah mendaki gunung namun teman-temanku sangat welcome sekali pada mereka bahkan malah senang karena bisa menambah teman.

Menuju Basecamp Dipajaya
Jumat malam tanggal 21 Desember 2018 jam 20.00 WIB kami sudah berkumpul di satu titik point di Cilandak Town Square untuk selanjutnya akan dijemput dengan travel. Namun karena macet yang panjang, kamipun harus menunggu satu setengah jam sampai akhirnya travel tiba di Cilandak menjemput kami. Kami naik mobil luxio dengan ongkos Rp. 120.000/orang. Diluar dugaan, sang sopir travel memuat penumpang lain bersama kami sehingga total ada 10 orang bersama kami. Suasana desak-desakan membuat kami bete. Belum lagi sang sopir membawa kami melalui jalan yang macet panjang yaitu jalan Bekasi – Cibitung.

Jam 03.00 WIB kami baru masuk tol Cipali, 3,5 jam kami bermacet macetan di tengah suasana desak-desakan,  rasanya tulang kami remuk semua. Jam 05.00 WIB kami masuk Tol Brexit, hingga akhirnya kami tiba di rumah Mas Gale jam 09.00 WIB. Setibanya di rumah Mas Gale kami disambut baik oleh ibundanya Mas Gale. Ibu sudah menyiapkan kami sarapan, teh, kopi, jahe panas. Waaaah… rejeki anak sholeh ya. Anggap saja semua nya laki-laki, meskipun dalam setiap pendakianku, aku selalu menjadi perempuan satu-satunya.

Setelah kami selesai menumpang mandi, sarapan, pembagian muatan, dan packing ulang kamipun dikenalkan dengan Mas Maston, sahabat dari Mas Gale orang asli Pemalang. Walaupun aku perempuan sendiri, tapi muatan keril tak pernah pilih-pilih. Aku memang selalu membiasakan diri untuk tidak manja dan tidak ingin diistimewakan. Selesai beberes, kami langsung berangkat menggunakan mobil pick up  yang sudah disewa Mas Gale dari teman SMA-nya dulu dengan harga Rp. 250.000/sekali jalan. Betapa bahagianya aku dan teman-teman naik mobil pick up, jarang-jarang kami naik seperti ini. Kami mampir sebentar di pasar Randudongkal untuk membeli perlengkapan yang kurang, lalu melanjutkan kembali perjalanan menuju Desa Pulosari.


Gerbang Pendakian Gunung Slamet via Dipajaya, Kabupaten Pemalang. Photo by @fidha-riani
Jam 13.00 WIB kami tiba di Desa Pulosari, desa yang berada di atas ketinggian 1000 mdpl di lereng utara Gunung Slamet. Selama perjalanan, kami disajikan awan mendung, gerimis, hingga hujan yang cukup deras. Sampai di tengah perjalanan ternyata mobil pick up tidak bisa naik ke atas karena beberapa bagian jalan sedang ada perbaikan, diaspal ulang dengan tujuan memudahkan para pendaki yang hendak menuju basecamp Dipajaya. Akhirnya mau tidak mau kami harus turun di persimpangan dan selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 20 menit dengan keadaan jalan yang terus menanjak. Mata kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya. Sawah hijau, ladang sayur mayur, rumah-rumah warga, serta peternakan warga.

Perlahan kabutpun turun dan sepanjang jalan yang kami lalui tertutup kabut yang cukup tebal, udara dinginpun semakin terasa. Aku yang sudah kelelahan di mobil travel tak sanggup berjalan. Saat itu aku berfikir jika terus kulanjutkan berjalan maka aku akan tidak kuat melanjutkan pendakian. Rejeki tak lari kemana, ada seseorang pemuda menawarkan jasanya untuk memberiku tumpangan sampai basecamp Dipajaya. Sesampainya di basecamp suasana ramai para pendaki sangat terasa. Aku pun berkenalan dengan Mas Syamsul ranger yang bertugas di basecamp Dipajaya. Ini adalah pendakianku yang kedua di Gunung Slamet setelah sebelumnya aku pernah mendaki gunung ini melalui jalur Blambangan. Namun saat itu tidak sampai puncak karena aku dan teman-teman terus digempur badai serta kabut tebal. Kamipun memilih untuk turun menyelematkan diri. Daripada memaksakan ego untuk tetap mendaki.

Suasana Basecamp Dipajaya
Registrasi kami lakukan dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp. 15.000/orang, melengkapi administrasi, dan meninggalkan jaminan KTP asli milik Mas Gale. Jam 14.30 WIB kami menunaikan sholat zuhur terlebih dahulu barulah melanjutkan pendakian. Tiba di gapura selamat datang, kami melakukan doa bersama dan diakhiri dengan tos alaium gambreng khas kami serta foto-foto sebentar lalu kami mulai mendaki. Melewati sawah, ladang dan peternakan warga lalu masuk kedalam hutan pinus yang sudah di ubah menjadi arena permainan seperti rumah pohon, jembatan tali, flying fox, serta ada camp area untuk mereka yang tak ingin mendaki namun ingin merasakan camping. Tempat ini disebut wisata bukit melogi cinta. Karena desa ini sudah berada di atas ketinggian lebih dari 1000 mdpl, maka keindahan pemandangan yang sangat luar biasa sudah bisa terlihat. Bahkan awan yang berarak dan pemandangan gunung Sumbing Sindoro sudah bisa di nikmati tanpa harus lelah mendaki sampai puncak.

Dua Sosok “Bocah” yang ikut di Gendongan Carrier
Setelah melewati hutan pinus, kami disuguhi trek yang mulai menanjak menuju pos 1, pos 2, dan pos pos pendakian selanjutnya. Sekitar jam 16.00 WIB kami tiba di pos 1, dengan lahan yang sudah landai kami memutuskan untuk mengisi perut dengan makan nasi megono dengan gorengan tempe yang sudah dibungkus sebelum pendakian. Seperti biasa kami mencampur 5 nasi bungkus menjadi satu dalam satu tempat dan menyantapnya bersama. Tak ada rasa jijik atau gengsi makan bareng dengan banyak tangan.

Setelah makan aku melakukan sholat ashar kemudian aku permisi buang air kecil. Aku sempat kebingungan mencari spot buang air kecil karena hampir semua spot banyak “penunggunya”. Berulang kali aku “meminta ijin”, namun banyak tempat yang tidak dibolehkan. Hingga akhirnya 2 orang bocah kecil yang tak kasat mata yang cuma bisa dilihat oleh “mata 3Dku” saja mengizinkan aku untuk membuang air kecil. Setelah selasai buang air kecil sampah tentunya tak aku tinggalkan begitu saja. Teman-teman yang lainpun telah membersihkan tempat bekas makan dengan rapi. Aku sempat menegur Hari untuk tidak merokok di bawah pohon karena ada 2 bocah kecil yang terus memperhatikan aku.Jam 16.30 WIB kami melanjutkan pendakian kembali menuju pos 2.

Baru berjalan sekitar 15 menit, tiba-tiba Hari kelihatan menggigil. Aku tanya “kamu sakit?” dia jawab tidak. Namun tubuhnya sangat kelihatan sekali menggigil dan berkeringat dingin, wajahnya pun semakin pucat namun dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pendakian. Tak tega aku melihatnya, kembali ku ajukan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi dia jawab tidak sakit. Tapi aku sangat bingung kenapa tidak sakit tapi bisa berkeringat dingin dan menggigil padahal saat itu cuaca pun belum berkabut dan belum terasa dingin sama sekali. Saat Hari berjalan di depan aku, barulah saya menyadarinya bahwa 2 bocah kecil yang bertemu dengan saya tadi sudah nangkring di atas keril nya. “Mas apa yang dirasa?” tanyaku, “berat” jawabnya. Wah fix sudah, padahal jika mau membandingkan keril yang dia bawa dengan keril yang aku bawa jauh lebih berat 2 kali lipat kerilku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar