
Siapa yang tak kenal Toraja. Daerah di bagian utara Sulawesi Selatan itu punya banyak destinasi wisata tradisi, adat, dan budaya yang sudah mendunia. Tapi, selain atraksi-atraksi kultural itu, Toraja juga punya atraksi wisata alam yang juga akan mengundang decak kagum.
Di Kabupaten Toraja Utara ada sebuah gunung setinggi 2.100 mdpl bernama Sesean. Gunung Sesean adalah gunung tertinggi di Toraja. Letaknya di Desa Sesean, Kecamatan Sesean Suloara, Toraja Utara. Di top of Toraja ini kita dapat melihat jelas hijaunya perbukitan yang mengelilingi Toraja serta padatnya permukiman warga di Rantepao, Ibu Kota Kabupaten Toraja Utara.
Lembayung di Gunung Sesean/Hendra Karya
Gunung itulah yang kami tuju pada hari Minggu, 30 Desember 2018, beberapa hari sebelum pergantian tahun. Kami mulai bertualang dari Kota Parepare, melewati Kabupaten Pinrang, Kabupaten Enrekang, dan terus ke Kabupaten Tana Toraja.
Perjalanan sekitar delapan jam dengan beban keril di punggung membuat kami ingin istirahat total malam nanti. Tiba di Tana Toraja, kami menginap dulu di destinasi wisata Pango-pango sebelum terus ke tujuan utama.
Pagi-pagi di hari terakhir 2018 kami melanjutkan perjalanan dari Pango-pango ke Gunung Sesean, melewati Makale yang menjadi Ibu Kota Tana Toraja. Kami singgah sejenak—sekitar dua jam—di Plasa Telkom Kota Makale untuk mengisi daya baterai ponsel pintar kami yang kosong melompong. Perjalanan ke kaki Gunung Sesean memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam, melewati Rantepao dan banyak tongkonan (rumah adat asli Toraja), perkebunan warga, serta sawah dengan jalanan naik-turun dan berliku.
Pendakian Gunung Sesean dimulai dari sebuah rumah warga yang biasa dijadikan tempat menitipkan kendaraan. Kami menitipkan kendaraan di sana kemudian berjalan kaki menuju pos registrasi untuk melakukan kewajiban membayar bea masuk sekitar Rp 10.000/orang. Dari sana langkah kami semakin dekat ke puncak tertinggi Toraja.
Berjalan pelan tidak terburu-buru
Waktu menunjukkan pukul 14.30 WITA. Katanya untuk sampai ke lokasi berkemah hanya perlu waktu sekitar dua sampai tiga jam. Jadi, seperti biasa, kami berjalan pelan, tidak terburu-buru, sebab puncak tidak akan ke mana-mana dan akan tetap setia menunggu.
Medan pendakian Gunung Sesean memang mudah. Jalurnya tidak terlalu menanjak. Banyak bebatuan di trek, bahkan ada lebih kurang enam puluh anak tangga di etape awal pendakian. Namun ingat kawan: seberapa pun mudahnya sebuah pendakian, bukan berarti kita harus meremehkan.
Kami sendiri beberapa kali singgah minum untuk menghilangkan haus. Selebihnya kami berjalan pelan, santai, karena kami ingin benar-benar menikmati perjalanan mendaki Gunung Sesean.
Menikmati pendakian/Hendra Karya
Akhirnya kami sampai di lokasi berkemah. Melihat banyak sekali pendaki yang muncak hari itu, kami kesulitan untuk mencari lokasi mendirikan tenda. Namun—alhamdulillah—lokasi berkemah kami dapat di jalur menuju puncak. Setelah tenda berdiri, kami pun bergerak ke atas untuk menikmati sore—serta merenungi kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan tahun 2018 kemarin dan memikirkan apa saja yang harus diperbaiki di tahun depan.
Saya tak percaya bahwa akhirnya saya di sini. Perjalanan ini saya lakukan—dengan nekat—berdua. Rencananya kami akan ke Gunung Sesean berempat. Namun, karena dua teman kami yang lain ada sedikit kesibukan yang tak boleh ditinggalkan, akhirnya hanya saya, Hendra Karya, dan seorang saudara tak sedarah saya, Muhammad Sahlan, yang mendaki.
Setelah beberapa lama, kami kembali ke tenda untuk memasak dan makan. Lalu, agar punya cukup tenaga untuk menikmati momen pergantian tahun nanti malam, saya pun mencuri waktu sejenak untuk beristirahat.
Dari titik tertinggi Toraja
Pukul 23.54 WITA. Saya pun menyaksikan malam pergantian tahun yang sungguh menakjubkan. Selamat datang, 2019! Sensasi melihat Toraja dari atapnya memang memanjakan mata. Dari ketinggian, Toraja seolah-olah dikepung oleh bintang dan warna-warni kembang api yang dengan bersemangat menyambut tahun 2019.
Setelah menyambut dan menyaksikan prosesi pergantian tahun yang sangat menakjubkan saya kembali ke tenda untuk tidur agar bisa melihat lautan awan di pagi hari di puncak tertinggi daerah yang istimewa ini.
Tak terasa pagi pun tiba. Kami lalu bergerak menuju ke puncak untuk menikmati keindahan yang diorkestra oleh Sang Pencipta. Untuk ke titik tertinggi Gunung Sesean hanya perlu waktu beberapa menit.
Pegunungan yang berlapis-lapis/Hendra Karya
Tiba di puncak tertinggi, saya terpana melihat sekeliling. Menengok ke bawah, entah kenapa saya membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan barangkali benar adanya apa yang disampaikan Mark Manson dalam Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, bahwa manusia dilengkapi radar alami yang bekerja dalam situasi yang berpotensi mengakibatkan kematian. Berada hanya beberapa meter di pinggir, tanpa pengaman, suatu ketegangan sekonyong-konyong menusuk tubuh. Punggung saya menjadi kaku, mata terfokus pada setiap detail lingkungan sekitar, seakan-akan ada magnet besar yang tidak terlihat yang dengan lembut menarik badan ke belakang.
Sekitar empat puluh lima menit kami menghayati puncak dan pengalaman berharga ini. Kemudian kami kembali ke tenda untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, yakni rumah.
Perjalanan ke bawah tidak terlalu lama. Barangkali dua kali lipat lebih singkat ketimbang perjalanan menuju puncak. Namun tetap saja kami turun hati-hati membawa pengalaman indah yang tersimpan di hati.
Gunung Sesean ini sangat cocok bagi pemula atau bagi orang yang baru mau mulai mendaki gunung. Selain tidak tidak terlalu terjal, perjalanan dari bawah menuju puncak juga lumayan singkat, hanya dua sampai tiga jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar