7 Tips Berikut agar Kamu Tidak Tersesat atau Hilang di Gunung

Kegiatan alam bebas seperti mendaki gunung dewasa ini sangat digandrungi. Remaja, dewasa, bahkan orang tua banyak yang melakukan kegiatan alam bebas ini.

Meningkatnya minat masyarakat untuk mendaki gunung seharusnya diimbangi dengan berkembangnya pengetahuan tentang pendakian, sehingga kejadian-kejadian tak diinginkan, misalnya tersesat atau hilang, dapat dihindari.

Untuk menambah referensi tentang pendakian, kali ini saya akan memberikan beberapa tips agar kita tidak tersesat atau hilang di gunung.


Jalan setapak di hutan via pexels.com/Skitterphoto
1. Gunakan jalur resmi
Mengunakan jalur pendakian yang resmi merupakan salah satu cara mengurangi kemungkinan untuk tersesat atau hilang di gunung.

Dibanding jalur tidak resmi, jalur resmi lebih lebih jelas. Selain itu di jalur resmi ada base camp tempat kita bisa menggali informasi tentang jalur itu. Saat mengalami masalah, pihak base camp akan siap sedia untuk menolong kita. (Makanya selalu pastikan untuk melakukan registrasi sebelum mulai mendaki.)


Mendaki berdua via pexels.com/rawpixel.com
2. Jangan mendaki seorang diri dan berangkatlah bersama orang yang berpengalaman
Cara lain yang bisa dipakai untuk menghindari risiko tersesat atau hilang di gunung adalah tidak berangkat seorang diri dan memastikan bahwa kita berangkat bersama orang yang berpengalaman. Semisal kamu mengalami masalah, setidaknya kamu punya seorang teman yang akan menolong sebelum tim SAR datang.

Orang berpengalaman yang diajak bisa teman atau saudara sendiri yang sudah pernah mendaki lewat jalur yang sama. Kalau ada, kita juga dapat menggunakan jasa pemandu lokal yang pastinya betul-betul paham tentang jalur itu.


Sunto via pexels.com/Pixabay
3. Manfaatkan GPS
Agar tidak tersesat atau hilang di gunung, kita dapat menggunakan perangkat penerima GPS. Kalau tidak ada, kita juga dapat menggunakan aplikasi GPS offline yang dapat dibuka dengan ponsel pintar, misalnya ViewRanger, Polaris, Mavic Pro, GPX Viewer yang memiliki fitur perekam jejak alias trail record.

Beberapa aplikasi seperti ViewRanger juga memberi kita kesempatan untuk mengunduh jalur pendakian yang bisa dijadikan pedoman saat bertualang.

pendakian gunung slamet via penakir
Menuju Pos 1 Gunung Slamet via Penakir/Jelajah Pendaki Indonesia
4. Lakukan riset tentang jalur pendakian
Sebelum mendaki alangkah baiknya kalau kita melakukan riset kecil-kecilan tentang jalur yang akan ditempuh. Caranya bisa macam-macam, bisa dengan bertanya pada pihak base camp, menjelajahi internet, dll.

Paling tidak, setelah mencari tahu informasi tentang jalur itu, kita bisa memperkirakan apa yang akan kita hadapi saat melakukan pendakian.


Mendaki bersama rombongan via pexels.com/abhishek gaurav
5. Selalu bersama rombongan
Dalam banyak kasus orang tersesat atau hilang di gunung karena mereka terpisah dari rombongan. Jadi, usahakanlah untuk selalu (berjalan) bersama rombongan, baik saat naik ataupun turun.

Jangan merasa diri sebagai orang yang paling bisa lalu memisahkan diri dari rombongan. Itu tidak akan bermanfaat. Lagipula, mendaki gunung itu lebih asyik kalau bersama-sama.


Suasana hutan di siang hari via pexels.com/icon0.com
6. Mendakilah di siang hari
Melakukan pendakian di malam hari sangat tidak dianjurkan. Bagi manusia, malam adalah saat untuk beristirahat. Selain itu, pendakian malam juga mesti dihindari sebab di rimba juga hidup hewan buas nokturnal yang—namanya saja nokturnal—beraktivitas di malam hari.

Selain itu, pada malam hari tumbuhan akan menyerap oksigen sehingga kadarnya akan semakin tipis. Padahal aktivitas seperti mendaki membutuhkan banyak oksigen. Hal lain yang membuat mendaki di malam hari harus dihindari adalah terbatasnya pandangan, gelap, sehingga akan lebih sulit bagi kita untuk mengenali medan.

pendakian gunung slamet
Puncak Gunung Slamet/Jelajah Pendaki Indonesia
7. Ukur kemampuan diri
Agar tidak tersesat atau hilang di gunung, jangan memaksakan diri. Memaksakan diri itu sama saja artinya dengan membahayakan diri sendiri. Lagipula, jika kita mendaki gunung untuk melepas penat dari rutinitas sehari-hari, akan lucu kalau akhirnya kita bukannya jadi santai tapi malah tambah penat. Ingat: gunung itu tidak ke mana-mana. Dia di situ saja dan takkan pindah.

Semoga tips-tips di atas dapat bermanfaat bagi kita semua. Semoga dengan tulisan ini tak ada lagi orang yang tersesat atau hilang di gunung. Salam lestari!

Gunung Sesean, Puncak Tertinggi Toraja

gunung-sesean
Siapa yang tak kenal Toraja. Daerah di bagian utara Sulawesi Selatan itu punya banyak destinasi wisata tradisi, adat, dan budaya yang sudah mendunia. Tapi, selain atraksi-atraksi kultural itu, Toraja juga punya atraksi wisata alam yang juga akan mengundang decak kagum.

Di Kabupaten Toraja Utara ada sebuah gunung setinggi 2.100 mdpl bernama Sesean. Gunung Sesean adalah gunung tertinggi di Toraja. Letaknya di Desa Sesean, Kecamatan Sesean Suloara, Toraja Utara. Di top of Toraja ini kita dapat melihat jelas hijaunya perbukitan yang mengelilingi Toraja serta padatnya permukiman warga di Rantepao, Ibu Kota Kabupaten Toraja Utara.


Lembayung di Gunung Sesean/Hendra Karya
Gunung itulah yang kami tuju pada hari Minggu, 30 Desember 2018, beberapa hari sebelum pergantian tahun. Kami mulai bertualang dari Kota Parepare, melewati Kabupaten Pinrang, Kabupaten Enrekang, dan terus ke Kabupaten Tana Toraja.

Perjalanan sekitar delapan jam dengan beban keril di punggung membuat kami ingin istirahat total malam nanti. Tiba di Tana Toraja, kami menginap dulu di destinasi wisata Pango-pango sebelum terus ke tujuan utama.

Pagi-pagi di hari terakhir 2018 kami melanjutkan perjalanan dari Pango-pango ke Gunung Sesean, melewati Makale yang menjadi Ibu Kota Tana Toraja. Kami singgah sejenak—sekitar dua jam—di Plasa Telkom Kota Makale untuk mengisi daya baterai ponsel pintar kami yang kosong melompong. Perjalanan ke kaki Gunung Sesean memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam, melewati Rantepao dan banyak tongkonan (rumah adat asli Toraja), perkebunan warga, serta sawah dengan jalanan naik-turun dan berliku.

Pendakian Gunung Sesean dimulai dari sebuah rumah warga yang biasa dijadikan tempat menitipkan kendaraan. Kami menitipkan kendaraan di sana kemudian berjalan kaki menuju pos registrasi untuk melakukan kewajiban membayar bea masuk sekitar Rp 10.000/orang. Dari sana langkah kami semakin dekat ke puncak tertinggi Toraja.

Berjalan pelan tidak terburu-buru 
Waktu menunjukkan pukul 14.30 WITA. Katanya untuk sampai ke lokasi berkemah hanya perlu waktu sekitar dua sampai tiga jam. Jadi, seperti biasa, kami berjalan pelan, tidak terburu-buru, sebab puncak tidak akan ke mana-mana dan akan tetap setia menunggu.

Medan pendakian Gunung Sesean memang mudah. Jalurnya tidak terlalu menanjak. Banyak bebatuan di trek, bahkan ada lebih kurang enam puluh anak tangga di etape awal pendakian. Namun ingat kawan: seberapa pun mudahnya sebuah pendakian, bukan berarti kita harus meremehkan.

Kami sendiri beberapa kali singgah minum untuk menghilangkan haus. Selebihnya kami berjalan pelan, santai, karena kami ingin benar-benar menikmati perjalanan mendaki Gunung Sesean.


Menikmati pendakian/Hendra Karya
Akhirnya kami sampai di lokasi berkemah. Melihat banyak sekali pendaki yang muncak hari itu, kami kesulitan untuk mencari lokasi mendirikan tenda. Namun—alhamdulillah—lokasi berkemah kami dapat di jalur menuju puncak. Setelah tenda berdiri, kami pun bergerak ke atas untuk menikmati sore—serta merenungi kesalahan-kesalahan yang telah kami lakukan tahun 2018 kemarin dan memikirkan apa saja yang harus diperbaiki di tahun depan.

Saya tak percaya bahwa akhirnya saya di sini. Perjalanan ini saya lakukan—dengan nekat—berdua. Rencananya kami akan ke Gunung Sesean berempat. Namun, karena dua teman kami yang lain ada sedikit kesibukan yang tak boleh ditinggalkan, akhirnya hanya saya, Hendra Karya, dan seorang saudara tak sedarah saya, Muhammad Sahlan, yang mendaki.

Setelah beberapa lama, kami kembali ke tenda untuk memasak dan makan. Lalu, agar punya cukup tenaga untuk menikmati momen pergantian tahun nanti malam, saya pun mencuri waktu sejenak untuk beristirahat.

Dari titik tertinggi Toraja
Pukul 23.54 WITA. Saya pun menyaksikan malam pergantian tahun yang sungguh menakjubkan. Selamat datang, 2019! Sensasi melihat Toraja dari atapnya memang memanjakan mata. Dari ketinggian, Toraja seolah-olah dikepung oleh bintang dan warna-warni kembang api yang dengan bersemangat menyambut tahun 2019.

Setelah menyambut dan menyaksikan prosesi pergantian tahun yang sangat menakjubkan saya kembali ke tenda untuk tidur agar bisa melihat lautan awan di pagi hari di puncak tertinggi daerah yang istimewa ini.

Tak terasa pagi pun tiba. Kami lalu bergerak menuju ke puncak untuk menikmati keindahan yang diorkestra oleh Sang Pencipta. Untuk ke titik tertinggi Gunung Sesean hanya perlu waktu beberapa menit.


Pegunungan yang berlapis-lapis/Hendra Karya
Tiba di puncak tertinggi, saya terpana melihat sekeliling. Menengok ke bawah, entah kenapa saya membayangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dan barangkali benar adanya apa yang disampaikan Mark Manson dalam Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, bahwa manusia dilengkapi radar alami yang bekerja dalam situasi yang berpotensi mengakibatkan kematian. Berada hanya beberapa meter di pinggir, tanpa pengaman, suatu ketegangan sekonyong-konyong menusuk tubuh. Punggung saya menjadi kaku, mata terfokus pada setiap detail lingkungan sekitar, seakan-akan ada magnet besar yang tidak terlihat yang dengan lembut menarik badan ke belakang.

Sekitar empat puluh lima menit kami menghayati puncak dan pengalaman berharga ini. Kemudian kami kembali ke tenda untuk berkemas dan melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, yakni rumah.

Perjalanan ke bawah tidak terlalu lama. Barangkali dua kali lipat lebih singkat ketimbang perjalanan menuju puncak. Namun tetap saja kami turun hati-hati membawa pengalaman indah yang tersimpan di hati.

Gunung Sesean ini sangat cocok bagi pemula atau bagi orang yang baru mau mulai mendaki gunung. Selain tidak tidak terlalu terjal, perjalanan dari bawah menuju puncak juga lumayan singkat, hanya dua sampai tiga jam.

Menuju Puncak Gunung Padang

puncak gunung padang
Bermodalkan niat dan informasi dari internet, Oktober 2016 saya melakukan perjalanan sendirian (solo traveling) ke Gunung Padang di Cianjur.

Karena suka menumpang kereta api, tiap kali melakukan perjalanan moda transportasi yang saya utamakan adalah angkutan publik itu. Cocok sekali; ternyata ada stasiun yang dekat dengan Gunung Padang, yakni Stasiun Lampegan.

puncak gunung padang
Interior gerbong KA Pangrango/Darojah
Saya berdomisili di Jakarta. Jadi saya harus naik kereta api beberapa kali. Dari Jakarta saya ke Bogor dulu. Dari Stasiun Bogor Paledang yang terpaut sekitar 200 meter dari Stasiun Bogor, saya kemudian naik KA Pangrango (Rp 50.000 eksekutif, Rp 20.000 ekonomi) ke Sukabumi. Karena penasaran dengan interiornya, saya memesan tiket untuk kelas eksekutif.

Setiba di Sukabumi, saya mesti lanjut naik kereta api lagi ke Stasiun Lampegan di Cianjur. Kereta relasi Sukabumi-Cianjur adalah KA Siliwangi. Tarif kereta api lokal itu lumayan murah. Saya hanya perlu membayar Rp 3.000.

Rasa letih karena harus berpindah-pindah kereta itu dibayar lunas oleh pemandangan persawahan dan pegunungan indah yang disuguhkan alam sepanjang rel Bogor sampai Lampegan.

puncak gunung padang
Stasiun Lampegan/Darojah
Langsung dihampiri beberapa tukang ojek
Begitu turun di Stasiun Lampegan, saya langsuung dihampiri beberapa tukang ojek yang menawarkan jasa untuk mengantarkan saya ke Gunung Padang.

Menurut beberapa artikel yang saya baca, tarif ojek dari Stasiun Lampegan ke Gunung Padang berkisar antara Rp 40.000-50.000 ribu sekali jalan.

puncak gunung padang
Berfoto bersama petugas PT KAI/Darojah
Harganya bisa segitu karena jaraknya lumayan jauh dan medannya lumayan menantang. Karena kebetulan saya dari Sunda, saya menawar dengan bahasa Sunda dan akhirnya sepakat dengan harga Rp 50.000 pergi-pulang.

Selama perjalanan naik ojek, kembali mata saya dibuai oleh pemandangan indah kebun teh dan hutan yang masih asri. Seketika penat saya luluh dan hilang. Saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk menghirup udara segar.

Menapaki ratusan anak tangga menuju puncak Gunung Padang
Tibalah saya di loket registrasi Gunung Padang. Setelah membeli tiket, saya bergegas melangkahkan kaki menuju Gunung Padang.

puncak gunung padang
Tangga menuju puncak Gunung Padang/Darojah
Berada pada ketinggian 885 mdpl, untuk menuju puncak gunung tempat situs megalitikum kebanggaan Jawa Barat itu berada saya mesti menaiki ratusan anak tangga.

Untung saja di puncak ada warung kecil yang menjual makanan dan minuman. Jadi saya bisa istirahat sejenak, mengisi perut dan menawar dahaga setelah menempuh ratusan anak tangga.

Selain udaranya yang sejuk, puncak Gunung Padang punya pemandangan yang menawan. Yang membuat pemandangan begitu menarik adalah hamparan kebun teh dan beberapa pegunungan yang menjulang.

puncak gunung padang
Situs megalitik di puncak Gunung Padang/Darojah
Setelah dua jam berkeliaran di areal puncak Gunung Padang, saya pun kembali turun. Dari loket saya balik ke Stasiun Lampegan, terus pulang ke Jakarta.

Bertualang ke Gunung Papandayan

gunung papandayan
Tepat pukul 01.10 WIB, sepulang kerja, kami bertiga bergegas menuju sebuah pasar induk yang berada di daerah Cibitung, Kabupaten Bekasi. Kami ke pasar untuk mencari truk sayur yang bersedia membawa kami ke Garut. Kami akan mendaki Gunung Papandayan, gunung yang terkenal dengan hutan matinya.

Setiba di pasar, kami segera mencari supir truk sayur yang bersedia menumpangi kami.

“Mang, truk mau jalan ke mana? Garutkah?” Kucoba bertanya pada seorang pengemudi truk.

“Betul, Mang. Mau ka Garut,” jawabnya.

“Berapa uang, Mang, untuk satu orangnya?” lanjutku bertanya.

“Empat puluh ribu, Mang,” jawabnya dengan nada pelan.

Namun secangkir kopi mengubah segalanya. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ongkos yang semua Rp 40 ribu berhasil kami nego menjadi Rp 25 ribu saja. Kami pun semakin gembira.

gunung papandayan
Di dalam bak truk menuju Garut/Hanantyo A. Widarmawan
Tepat pukul 02.00 WIB, truk sayur bergegas berangkat menuju Garut. Tak lupa kami berdoa agar Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi kami sampai tujuan. Diselimuti udara yang amat dingin, kami menikmati perjalanan sambil berbaring menatap langit dan bintang-bintang yang memesona. Sungguh nikmat yang tidak bisa didustakan.

Truk pun akhirnya berhenti. Ternyata kami sudah di Garut. Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 05.30 WIB. Kami turun dari truk lalu berjalan mencari masjid untuk beribadah.

Sesudah itu kami lanjutkan perjalanan menuju base camp mengunakan angkutan kota. Sesampai di gerbang masuk, kami beralih ke ojek. Selang sebentar kami sampai di Base Camp Gunung Papandayan. Sebelum mulai nanjak, kami beristirahat sejenak. Sarapan dulu, mengisi tenaga agar pendakian bisa berjalan dengan lancar.

gunung papandayan
Jalur berbatu di Gunung Papandayan/Hanantyo A. Widarmawan
Menikmati petualangan di Gunung Papandayan
Setelah briefing, pukul 08.00 WIB kami memulai pendakian. Kami berjalan santai sambil menikmati pemandangan sekitar. Tak lupa saling menyapa dengan sesama pendaki yang kami temui sepanjang jalan.

Disuguhi jalan berbatu di awal perjalanan, mau tak mau kami harus hati-hati dalam setiap langkah. Setapak demi setapak kaki kami terus berjalan menempuh tanjakan-tanjakan itu. Selang beberapa waktu, tepatnya pukul 11.00 WIB, akhirnya kami tiba di lokasi perkemahan. Tanpa berpikir panjang kami langsung mencari tempat dan mendirikan tenda.

Setelah berbaring cukup lama dan mengisi tenaga dengan bekal makanan yang dibawa, akhirnya tenaga kami sudah mulai penuh kembali. Pukul 14.30 WIB kami pun bergerak menuju puncak bersama dengan pendaki-pendaki lain.

gunung papandayan
Hutan Mati yang menjadi ikon Gunung Papandayan/Hanantyo A. Widarmawan
Berjalan sebentar saja kami sudah tiba di Hutan Mati yang indah sekali. Inilah yang menjadi ikon dari Gunung Papandayan. Panoramanya yang memukau mata membuatku betah berlama-lama—dan berfoto-foto ria—di sana.

Dari Hutan Mati kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun. Setiba di sana kami disambut padang edelweiss. Konon inilah padang edelweiss terluas di Asia Tenggara. Berada di sana membuatku sangat gembira. Rasa lelah dibayar lunas oleh hati yang penuh rasa syukur dan bahagia.

Sebetulnya kami ingin menuju puncak Gunung Papandayan. Namun jalur yang sudah ditumbuhi ilalang setinggi dada mengurungkan niat kami untuk menapakkan kaki di titik tertinggi Gunung Papandayan. Apalagi matahari sebentar lagi akan terbenam. Kami mesti segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke tenda.

gunung papandayan
Padang edelweiss Tegal Alun yang konon terluas di Asia Tenggara/Hanantyo A. Widarmawan
Malam yang penuh makna
Malam itu udara sangat dingin sampai-sampai kami harus membuat api unggun yang besar. Udara dingin itu jugalah yang membuat kami lebih memilih untuk kelayapan dan bercengkerama dengan pendaki-pendaki lainnya, ketimbang bertahan di tenda.

Bersama para pendaki lain, kami ngobrol ngalor-ngidul, yang meskipun tidak jelas namun bisa membuat kami menjadi akrab. Bernyanyi dan bercanda bersama membuat malam itu penuh makna. Ketika malam sudah cukup larut barulah kami kembali ke tenda untuk tidur.

Suara azan berkumandang dari salah satu ponsel. Tandanya kami harus bangun dan beribadah. Saat berwudu, air itu terasa sangat dingin. Dingin sekali. Tubuhku bergetar tapi harus tetap tegar.

gunung papandayan
Padang rumput dan semak-semak yang menguning/Hanantyo A. Widarmawan
Sebelum merobohkan tenda, kami membuat sarapan terlebih dahulu. Perut perlu diisi untuk perjalanan turun. Kami menyantap mie rebus yang entah kenapa terasa begitu lezat. Setelah makan, tenda kami bongkar dan semua peralatan kami muat ke dalam tas gunung.

Kawan-kawan yang dengan mereka kami bercengkerama tadi malam sudah muncak duluan. Kami berpamitan dengan menyelipkan sepucuk surat pada tenda mereka. Setelahnya kami pun melangkah turun, hanya meninggalkan jejak; jejak-jejak yang kelak akan terus kami ceritakan.

Dengan Primajasa, kami kembali ke bekasi. Dalam bis nyaman itu kami tertidur pulas dan bermimpi.

Pelajaran untuk Lebih Bijak Memilih Teman Pendakian

papandayan
Papandayan di Garut, Jawa Barat, dikenal kalangan pendaki sebagai gunung untuk mendaki tipis-tipis. Tapi jangan salah; Papandayan memiliki trek pendakian yang cukup menguras tenaga, udaranya dingin menusuk, dan dihiasi beberapa tanjakan yang cukup terjal.

Perjalanan kali ini saya menepati sebuah janji kepada seorang teman lama. Dia sudah sering sekali bilang ingin melihat langsung bunga edelweis. Pernah juga dia bertanya tentang Gunung Papandayan kepada saya. Akhirnya saja ajaklah dia ke sana.

Dia bekerja di sebuah kapal pesiar di luar negeri, jarang pulang ke Indonesia. Namun ia cinta keindahan alam dan budaya Indonesia. Saking cintanya, setiap kali pulang dia selalu mengajak saya untuk berkelana. Saya sudah beberapa kali berkelana ke mana-mana bersamanya. Tapi kali ini kami tidak hanya berdua (dua orang teman saya juga ikut bersama kami, jadi kami berempat semua perempuan) dan tujuan kami adalah gunung.

Perjalanan dimulai dari Terminal Lebak Bulus
Saya bersama dua orang teman berangkat dari Terminal Lebak Bulus. Teman saya yang bekerja di kapal pesiar itu berangkat langsung dari Cianjur. Kami menumpang Primajasa Lebak Bulus-Garut. Perjalanan kurang lebih empat jam dengan ongkos Rp 52.000. Busnya sangat nyaman dan tidak (dipaksakan untuk) penuh. Sepanjang perjalanan saya manfaatkan waktu untuk tidur.

Setiba di Terminal Guntur Garut pukul 18.13, kami pun beribadah salat magrib. Setelahnya kami berkemas dan membeli beberapa logistik yang kurang. Oleh karena teman-teman perempuan saya ini baru mencoba mendaki (teman saya yang bekerja di kapal pesiar itu sudah pernah trekking bersama saya ke Baduy Dalam) semua perlengkapan pendakian seperti tenda, nesting dan kompor, matras, dll. saya yang membawa dalam satu keril. Ransel teman-teman saya itu hanya untuk memuat logistik makanan. Setelah semuanya beres saya berikan sedikit arahan. Kemudian kami berdoa bersama sebelum cabut.

Untuk tiba di Papandayan kami harus naik omprengan dua kali lagi. Pertama kami naik Carry berkapasitas sepuluh orang (yang terkadang, kenyataannya, dinaiki sampai lima belas orang) dari Terminal Guntur ke Desa Cisurupan. Semua keril kami diikat di atas. Perjalanan itu kurang lebih 30 menit dengan ongkos Rp 20.000. Pemandangannya sangat indah dan jalannya berkelok-kelok. Di dalam angkot kami bertemu tujuh orang pendaki yang sama-sama berasal dari Jakarta. Akhirnya kami memutuskan untuk bareng terus.


Tangga batu di Gunung Papandayan/Fidha Riani
Sesampai di Desa Cisurupan, kami pindah ke omprengan berupa mobil bak terbuka. Ongkosnya Rp 20.000 dan mengantarkan kami sampai pintu masuk Papandayan. Pukul 22.00 saat itu. Malam indah. Meskipun udara dingin cukup menusuk, langit bertaburan bintang. (Jaket saya tertinggal di kantor, lupa memasukkannya ke dalam tas yang sudah sangat penuh.) Saya suka sekali perjalanan menumpang mobil bak terbuka seperti ini, bersama teman-teman baru. Syahdu.

Pendakian malam itu
Sesampai di gerbang masuk, kami membayar tiket masuk Rp 30.000/orang dan tiket berkemah Rp.35.000/malam. Jadi totalnya adalah Rp.65.000/orang. Lumayan mahal, memang. Mobil pun menurunkan kami di Warung Teteh, warung kayu yang menjual berbagai jenis makanan dan minuman hangat. Saya, yang sudah merasa kedinginan hebat, segera memesan kopi hitam dan mi rebus cabe rawit.

Pukul 23.30 kami briefing dan berdoa bersama untuk memulai pendakian. Awalnya saya mau mulai mendaki keesokan paginya, mengingat dari kami berempat hanya saya yang tahu soal pendakian; saya akan kewalahan mem-back up ketiga teman perempuan saya ini. Alhamdulillah kami bertemu rombongan ini (5 laki-laki, 2 perempuan), jadi setidaknya ada laki-laki yang bisa diandalkan.

Trekking malam itu sangat menguras tenaga. Awal pendakian kami sudah disuguhi anak tangga berbatu menanjak curam. DI sebelah kirinya adalah kawah Gunung Papandayan. Mungkin karena saat itu malam dan kadar oksigen menipis, bau belerang sangat menyengat. Di awal cukup terasa capeknya. Trek selanjutnya landai berbatu, kemudian tanjakan-turunan—masih berbatu juga—dan jalan setapak yang sangat kecil sehingga kami harus jalan agak menyerong miring.

Saya mulai agak kecewa dengan teman yang bekerja di pelayaran itu. Dari awal dia sudah susah diatur; saat teman-teman lain istirahat minum, dia tidak. Alasannya: takut jika nanti dia jadi ingin buang air kecil. Saat trek mulai menanjak, tas miliknya dibanting, bahkan terkadang diseret. Ia mengeluh: capek. Tapi yang membuat geleng-geleng kepala adalah saat ia membuang air mineral 1,5 liter yang dibawanya (tiap orang saya suruh bawa satu botol). Alasannya: tasnya menjadi berat.

Tentulah berat. Airnya tidak diminum sama sekali olehnya. Tentulah juga dia merasa capek; tubuhnya kurang asupan cairan. Kalau sudah begini, bukan tak mungkin ujung-ujungnya dia akan menyusahkan orang lain. Saat ada kesempatan, saya akhirnya berhasil membujuknya untuk minum walaupun sedikit. Tapi—nasib—saya malah disalah-salahkan sebab tujuh menit setelah minum, saat kembali berjalan, perutnya kram.

Mendirikan tenda sendirian
Akhirnya kami tiba di lahan berkemah, titik untuk melihat matahari terbit. Beberapa tenda sudah berdiri. Ada tiga warung kecil yang menjual kayu, makanan, dan minuman. Papandayan ini memang sangat memanjakan pendaki.

Karena saat itu sudah pukul 02.00, sudah dini hari, dan udara semakin dingin (13 derajat Celsius), rombongan kami pun segera mencari lahan untuk mendirikan tenda. Sedihnya, karena teman-teman saya yang lain adalah pendaki pemula, saya mesti membangun tenda sendirian. Tak ada basa-basi sekadar menawarkan bantuan. Tak ada juga yang berinisiatif untuk menyalakan kompor untuk menghangatkan air. (Badan saya sudah menggigil karena jaket yang semestinya saya pakai ketinggalan di kantor.) Tapi akhirnya tenda berdiri juga.


Foto bersama di trek Papandayan/Fidha Riani
Herannya, entah apa yang merasuki teman saya, pelayar itu, setelah tenda jadi ia terus saja mengeluh capek, dingin, pegal. Ya! Inilah mendaki. Kalau tidak mau capek dan pegal, pergi saja ke mall duduk manis dan minum kopi. Dari awal perjalanan saya sudah memberikan arahan dan memberi tahu bahwa tenda yang saya punya hanya cukup untuk dua sampai tiga orang saja. Sementara kami berempat. Tapi, saya akali bagaimana kami bisa tidur berempat dalam satu tenda. Saya pikir: pasti akan terasa hangat walaupun berdesakan.

Ujung-ujungnya, teman saya itu “rusuh” lagi. Dia terus meracau, merasa kakinya sakit, pegal, tak bisa diselonjorkan lurus. Karena ia mengeluh dan terus mengeluh, saya yang tak ingin terpancing emosi pergi ke luar, hanya membawa kain tenun sebagai penghangat. Saya jalan ke warung untuk membeli kopi dan menyantap mi rebus. Sayang sekali, logistik yang sudah berat-berat dibawa dari bawah tidak diolah.

Nongkrong di warung sampai jam 3 pagi
Tak lama teman saya yang lain, yang berasal dari bagian timur Indonesia, menghampiri saya dengan wajah merajuk. Saya bertanya, “Ada apa?” Ia lalu menceritakan apa yang terjadi di tenda. Teman saya, yang itu, sangat egois. Di dalam tenda ia terus saja meluruskan kaki, terus mengeluh bahwa ia sakit dan pegal. Dua orang teman saya yang lain sudah bilang bahwa tenda kita ini sempit sehingga kita harus berbagi posisi. Tapi tetap saja ia mengeluh. Tak tahan dengan keluhan-keluhan itu, teman dari Timur itu walkout juga dari tenda dan menghampiri saja yang sedang menghangatkan diri di depan api unggun.

Di sekitar api, kami berbincang dan bersenda gurau bersama para pendaki lain, bertukar pengalaman dan cerita, sampai tak terasa sudah jam 03.30 dini hari. Badan kami capek dan menggigil tak keruan. Waktunya mencari tempat enak untuk tidur. Tak berhasil menemukan posisi tidur enak, akhirnya kami kembali ke warung (yang kami tak tahu namanya itu).

Rasa lelah yang luar biasa membuat kami tanpa sadar tidur dalam posisi duduk di atas dingklik dengan kepala menempel di tanah di depan api unggun. Ibu sang pemilik warung memberi kami lima batang kayu besar agar api tidak padam. Biasanya kayu-kayu itu dijual Rp 50.000/kantong plasik, namun sang ibu memberikan pada kami cuma-cuma. Saat itu, api terasa seperti sahabat bagi kami.


Matahari terbit di Gunung Papandayan/Fidha Riani
Lalu, tiba-tiba terdengar sorak-sorai pemburu “sunrise.” Kami berdua langsung bangun dan berlari menuju titik untuk melihat sunrise. “Ya Allah, hamba butuh sekali hangatnya sinar matahari.” Setiba di titik untuk melihat matahari terbut, saya terpana—mengucap “subhanallah”—melihat keindahan pemandangan di depan mata: matahari yang perlahan beranjak naik, sinarnya yang perlahan hangat terasa, angin gunung yang berhembus segar, dan embun pagi yang berubah menjadi butiran es saking dinginnya udara. Emosi saya redam. Saya bahagia.

Pelajaran tentang memilih teman pendakian
Saya kembali ke tenda. Saya lihat kedua teman masih tertidur pulas. Gemas, namun saya berusaha untuk memendam emosi. Tapi akhirnya mereka bangun. Teman dari Indonesia bagian timur bilang: “Kak Fidha badannya sudah panas sekali. Gantian tidur, ya.” Mereka akhirnya keluar tenda.

Saya berharap mereka masih ada niat baik, entah sekadar berbasa-basi atau langsung membuatkan minuman hangat dan makanan. Nyatanya tidak. Tanpa merasa berdosa mereka “selfa-selfi” depan tenda. Lagi-lagi saya mencoba meredam emosi. Mereka lalu pergi ke hutan mati. Berselimutkan kantong tidur, saya masak makanan dan minuman panas sendiri. Setelah badan cukup hangat, saya minum parasetamol untuk menurunkan demam, saya lilitkan selendang ke tubuh, saya tumpuk dengan tas, lalu tidur.

Pukul 12.30 kami berkemas. Lagi-lagi tenda saya bereskan sendiri. Beberapa teman baru saya sudah turun terlebih dulu. Selama perjalanan turun yang saya rasa adalah pusing, lemas, dan mata panas. Saya coba menguatkan diri, setidaknya sampai base camp. Di Pos 1 dekat kawah saya sudah mulai drop, jalan sudah tak keruan. Pukul 15.30 tiba di base camp lalu segera naik angkutan bak terbuka.

Sepulang dari Papandayan, saya jadi sadar bahwa gunung ternyata bisa menyibak sifat, sikap, dan karakter seseorang. Saya juga jadi menyaksikan sendiri bahwa hati manusia itu mudah dibolak-balikkan; sekarang baik belum tentu besok, begitu pun sebaliknya. Selain itu saja juga jadi paham kenapa pendaki gunung harus jauh dari sifat egois; egoisme kita mungkin saja bisa membunuh orang lain.

Pilih-pilih teman itu memang tidak baik. Namun, pengalaman saya di Papandayan mengajarkan bahwa dalam konteks naik gunung ada pengecualian. Memilih teman pendakian itu wajib dan harus; kita, para pendaki, pasti butuh tim yang solid.

Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya eps 2

Memutuskan Untuk Turun

Akhirnya tanpa pikir panjang aku memilih untuk turun. Sebelumnya sempat aku bicarakan bersama Mas Gale tentang keadaan ini, berkompromi dengan teman-teman lainnya lalu mereka setuju dan kubiarkan mereka berenam tetap mendaki, aku dan Hari turun. logistik yang ada di tasku dan tasnya Hari dikeluarkan dan kuberikan pada teman-teman untuk kebutuhan di atas, aku dan Hari-pun turun. Aku berpikir ada baiknya ketahuan dari sekarang, sehingga kami bisa turun sebelum gelap daripada sudah sampai di beberapa pos baru ketauan Hari drop, bisa lebih repot urusannya. Apalagi kalau drop di pos 4 (Samarantu), hiiiii amit-amit deh.


Perjalanan Menuju Basecamp Gunung Slamet via Dipajaya. Photo by @fidha-riani
Selama perjalanan turun kami berdua berjumpa dengan beberapa pendaki setelah melewati pos 1. Hari semakin gelap dan tidak ada pendaki lain yang nanjak, tinggalah kami berdua. Hari sudah merasa ketakutan karena terdengar suara gaduh langkah yang sangat banyak. Pikirku saat itu kami dikepung. Aku sempat selfie di beberapa lokasi, kebiasaan lama yang kulakukan lagi. Benar saja saat di basecamp aku mengecek beberapa foto ada saja yang tertangkap kamera. Bayangan putih seperti perempuan sedang mengelus-elus perut, perempuan berambut hitam panjang sekali, dan sebuah wajah yang memantau kami dalam semak semak pepohonan. Bahkan saat itu suara gaduh, suara aneh, bahkan ada saja suara panggilan ‘cuy’, ‘eh’, ‘woi’ bersaut-sautan.

Kami berdua sudah tidak memperdulikannya lagi saat itu, kami tetap mempercepat langkah kami. Ketika kulihat rembulan putih tertutup awan putih aku berharap awan itu takan bergeser dari peraduannya, jangan sampai rembulan itu nongol dengan sinarnya. Namun harapanku sia-sia, perlahan sang awan menggeser membiarkan rembulan memancarkan sinarnya dan sekejap saat itu juga sekelebatan bayangan putih berseliweran melewati kami. Hari semakin memperkencang genggamannya, rasa takutnya berasa aku pun sama namun aku memilih tetap tenang.

Berulangkali kami bergantian jatuh, aku merasa seperti ada yang menarik tanganku keras namun Hari dengan sigap selalu menarik tanganku satunya. “Bagaimanapun kondisinya kita harus tetap sama-sama ya”, Hari tahu dengan kelebihan penglihatanku ini, aku adalah sasaran empun untuk makhluk kasat mata mengajak interaksi denganku. Dibentaknya selalu aku jika terlihat bengong. Hingga akhirnya kami kemalaman di jalan. Rasanya trek turun ini jauh lebih lama daripada trek menanjak. Kami merasakan jalurnya yang sangat panjang berjam jam, padahal normalnya bisa ditempuh hanya dengan 1 jam saja. Tiba-tiba kami baru menyadarinya bahwa kami telah berkali kali tersesat. Lagi-lagi kami berada di ladang warga, di sawah warga dimana tempat itu tidak kami temukan selama penanjakan. Kami terus beristigfar memohon petunjuk hingga akhirnya aku mendengar suara yang cukup serak dan berat bilang, “kowe nopo rak teko nduwur ndo, wes di enteni koh”, (kamu kenapa tidak sampai atas, sudah ditunggu kok), sekejap aku lupa ingatan.

“Nenek” yang Mengantarkan Turun
      Menurut cerita Hari saat kami kesasar, aku terus berjalan dengan mata terpejam. Hari menyadari bahwa aku sudah kerawuhan, namun Hari tetap memilih diam meskipun dia merasa ketakutan. Berkali kali tanganku menghentak genggamannya sambil berkata dengan suara serak dan berat nya “jangan takut” namun Hari hafal jika itu bukan suara asliku. Hari hanya nurut. Sepanjang perjalanan, pocong, wanita cantik, bahkan bocah dingklikpun terlihat seliweran kesana kemari.

Setibanya di gapura selamat datang, aku meminta Hari untuk mencium tangan ku “aku pulang, cium tangan” tetap dengan suara serak berat dan mata terpejam. Lalu aku tersungkur lemas dan nangis nangis. Disitulah Hari menyadari bahwa sedari tadi yang berjalan bersama dia, bukan hanya diriku. Sesampainya di basecamp akupun masih belum sadar. Mas Syamsul yang sudah tahu keadaan seperti ini hanya tertawa dan terus mengajakku berbicara. Menurut cerita Hari, aku bahkan tak merasakan dingin padahal malam itu suhu begitu dingin.

Aku menolak duduk diberi alas, tak mau duduk di kursi hanya mau duduk di lantai dingin dengan obrolan ngalor ngidul tidak jelas. Bahkan aku tak segan-segan minta dibakari kemenyan. Hingga akhirnya Mas Syamsul diam-diam dan komat-kamit membatin, saat itu sosok yang ada di tubuhku mengetahuinya kemudian membentak “ngga usah bisik-bisik kalau bicara”, kontan orang-orang basecamp tertawa. Bahkan tengah malampun aku kuat mandi dan keramas dengan air dingin. Aku hanya merasakan aku mandi dengan air hangat yang telah di sediakan oleh 2 bocah kecil baik hati itu. Pantas saja saat aku masuk kembali kedalam basecamp semua mata melihatku heran, mungkin mereka pikir wanita gila tengah malam mandi keramas. Sampai akhirnya aku merasakan tubuhku lelah dan menangis lalu kembali tidur dan menangis lagi lalu tidur. Mas Syamsul sangat baik hati menjaga ku dan siap sedia di saat aku kerawuhan.


Suasana Ketika Makan Bersama. Photo by @fidha-riani
Keesokan hari nya, aku baru menyadari bahwa aku datang bulan dengan derasnya. Saat ku dengar cerita Hari, aku baru sadar jangan-jangan aku gampang kerawuhan karena aku di keadaan sedang datang bulan, wallahualam.

Namun aku sangat bersyukur di pertemukan oleh sang nenek yang menuntun aku dan Hari keluar dari tersesatnya kami di hutan jalur pendakian Gunung Slamet.

Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya

Cerita Mistis Gunung Slamet via Dipajaya
“Fid cerita kamu pasti nggak jauh dari mistis deh” Ujar salah satu teman kantor yang kebetulan sudah membaca beberapa tulisan aku di steller. “Ya gimana dong bang, aku kan udah lahir punya mata 3D kaya gini”. “Ada cerita baru lagi nggak Fid?”, “Ada bang, baru kemarin waktu aku nanjak ke Slamet”, “Serius?? Mana, mana aku mau tau ceritanya.”


Basecamp Gunung Slamet via Dipajaya. Photo by @fidha-riani
Awal Rencana Pendakian
Berawal dari rencana pendakian yang sudah lama aku rencanakan bersama Mas Gale, kakak kelasku dulu saat SMA. Meskipun pada awalnya bingung hendak mendaki ke mana, akhirnya Mas Gale mengajakku mendaki Gunung Slamet lewat jalur baru (Jalur Dipajaya) yang berada di Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Mas Gale tahu jalur ini karena dia orang asli Pemalang Jawa Tengah, rumahnya di daerah Semingkir tidak jauh dari Gunung Slamet dan juga rumah mbah putriku. Mas Gale memutuskan untuk membuat group chat pendakian untuk memudahkan kami berkoordinasi karena selain kami adkhirnya ada beberapa tambahan personel yang akan berangkat bersama kami. Dari group chat ini saya akhirnya kenal dan bertemu dengan Mas Handri, Mas Seno, Mas Maston dan Mas Kiki. Dari yang awalnya tidak saling kenal akhirnya jadi teman akrab, bahkan jadi team pendakian yang sangat solid.

Aku juga mengajak dua orang terdekatku untuk ikut pendakian ini, Vincent dan Hari. Rupanya Vincent dan Hari sangat antusias ikut pendakian ini sekaligus untuk mengisi hari libur natal dan tahun baru yang panjang. Hari dan Mas Seno adalah pendaki pemula, mereka sama sekali belum pernah mendaki gunung namun teman-temanku sangat welcome sekali pada mereka bahkan malah senang karena bisa menambah teman.

Menuju Basecamp Dipajaya
Jumat malam tanggal 21 Desember 2018 jam 20.00 WIB kami sudah berkumpul di satu titik point di Cilandak Town Square untuk selanjutnya akan dijemput dengan travel. Namun karena macet yang panjang, kamipun harus menunggu satu setengah jam sampai akhirnya travel tiba di Cilandak menjemput kami. Kami naik mobil luxio dengan ongkos Rp. 120.000/orang. Diluar dugaan, sang sopir travel memuat penumpang lain bersama kami sehingga total ada 10 orang bersama kami. Suasana desak-desakan membuat kami bete. Belum lagi sang sopir membawa kami melalui jalan yang macet panjang yaitu jalan Bekasi – Cibitung.

Jam 03.00 WIB kami baru masuk tol Cipali, 3,5 jam kami bermacet macetan di tengah suasana desak-desakan,  rasanya tulang kami remuk semua. Jam 05.00 WIB kami masuk Tol Brexit, hingga akhirnya kami tiba di rumah Mas Gale jam 09.00 WIB. Setibanya di rumah Mas Gale kami disambut baik oleh ibundanya Mas Gale. Ibu sudah menyiapkan kami sarapan, teh, kopi, jahe panas. Waaaah… rejeki anak sholeh ya. Anggap saja semua nya laki-laki, meskipun dalam setiap pendakianku, aku selalu menjadi perempuan satu-satunya.

Setelah kami selesai menumpang mandi, sarapan, pembagian muatan, dan packing ulang kamipun dikenalkan dengan Mas Maston, sahabat dari Mas Gale orang asli Pemalang. Walaupun aku perempuan sendiri, tapi muatan keril tak pernah pilih-pilih. Aku memang selalu membiasakan diri untuk tidak manja dan tidak ingin diistimewakan. Selesai beberes, kami langsung berangkat menggunakan mobil pick up  yang sudah disewa Mas Gale dari teman SMA-nya dulu dengan harga Rp. 250.000/sekali jalan. Betapa bahagianya aku dan teman-teman naik mobil pick up, jarang-jarang kami naik seperti ini. Kami mampir sebentar di pasar Randudongkal untuk membeli perlengkapan yang kurang, lalu melanjutkan kembali perjalanan menuju Desa Pulosari.


Gerbang Pendakian Gunung Slamet via Dipajaya, Kabupaten Pemalang. Photo by @fidha-riani
Jam 13.00 WIB kami tiba di Desa Pulosari, desa yang berada di atas ketinggian 1000 mdpl di lereng utara Gunung Slamet. Selama perjalanan, kami disajikan awan mendung, gerimis, hingga hujan yang cukup deras. Sampai di tengah perjalanan ternyata mobil pick up tidak bisa naik ke atas karena beberapa bagian jalan sedang ada perbaikan, diaspal ulang dengan tujuan memudahkan para pendaki yang hendak menuju basecamp Dipajaya. Akhirnya mau tidak mau kami harus turun di persimpangan dan selanjutnya kami berjalan kaki sekitar 20 menit dengan keadaan jalan yang terus menanjak. Mata kami disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya. Sawah hijau, ladang sayur mayur, rumah-rumah warga, serta peternakan warga.

Perlahan kabutpun turun dan sepanjang jalan yang kami lalui tertutup kabut yang cukup tebal, udara dinginpun semakin terasa. Aku yang sudah kelelahan di mobil travel tak sanggup berjalan. Saat itu aku berfikir jika terus kulanjutkan berjalan maka aku akan tidak kuat melanjutkan pendakian. Rejeki tak lari kemana, ada seseorang pemuda menawarkan jasanya untuk memberiku tumpangan sampai basecamp Dipajaya. Sesampainya di basecamp suasana ramai para pendaki sangat terasa. Aku pun berkenalan dengan Mas Syamsul ranger yang bertugas di basecamp Dipajaya. Ini adalah pendakianku yang kedua di Gunung Slamet setelah sebelumnya aku pernah mendaki gunung ini melalui jalur Blambangan. Namun saat itu tidak sampai puncak karena aku dan teman-teman terus digempur badai serta kabut tebal. Kamipun memilih untuk turun menyelematkan diri. Daripada memaksakan ego untuk tetap mendaki.

Suasana Basecamp Dipajaya
Registrasi kami lakukan dengan membayar biaya retribusi sebesar Rp. 15.000/orang, melengkapi administrasi, dan meninggalkan jaminan KTP asli milik Mas Gale. Jam 14.30 WIB kami menunaikan sholat zuhur terlebih dahulu barulah melanjutkan pendakian. Tiba di gapura selamat datang, kami melakukan doa bersama dan diakhiri dengan tos alaium gambreng khas kami serta foto-foto sebentar lalu kami mulai mendaki. Melewati sawah, ladang dan peternakan warga lalu masuk kedalam hutan pinus yang sudah di ubah menjadi arena permainan seperti rumah pohon, jembatan tali, flying fox, serta ada camp area untuk mereka yang tak ingin mendaki namun ingin merasakan camping. Tempat ini disebut wisata bukit melogi cinta. Karena desa ini sudah berada di atas ketinggian lebih dari 1000 mdpl, maka keindahan pemandangan yang sangat luar biasa sudah bisa terlihat. Bahkan awan yang berarak dan pemandangan gunung Sumbing Sindoro sudah bisa di nikmati tanpa harus lelah mendaki sampai puncak.

Dua Sosok “Bocah” yang ikut di Gendongan Carrier
Setelah melewati hutan pinus, kami disuguhi trek yang mulai menanjak menuju pos 1, pos 2, dan pos pos pendakian selanjutnya. Sekitar jam 16.00 WIB kami tiba di pos 1, dengan lahan yang sudah landai kami memutuskan untuk mengisi perut dengan makan nasi megono dengan gorengan tempe yang sudah dibungkus sebelum pendakian. Seperti biasa kami mencampur 5 nasi bungkus menjadi satu dalam satu tempat dan menyantapnya bersama. Tak ada rasa jijik atau gengsi makan bareng dengan banyak tangan.

Setelah makan aku melakukan sholat ashar kemudian aku permisi buang air kecil. Aku sempat kebingungan mencari spot buang air kecil karena hampir semua spot banyak “penunggunya”. Berulang kali aku “meminta ijin”, namun banyak tempat yang tidak dibolehkan. Hingga akhirnya 2 orang bocah kecil yang tak kasat mata yang cuma bisa dilihat oleh “mata 3Dku” saja mengizinkan aku untuk membuang air kecil. Setelah selasai buang air kecil sampah tentunya tak aku tinggalkan begitu saja. Teman-teman yang lainpun telah membersihkan tempat bekas makan dengan rapi. Aku sempat menegur Hari untuk tidak merokok di bawah pohon karena ada 2 bocah kecil yang terus memperhatikan aku.Jam 16.30 WIB kami melanjutkan pendakian kembali menuju pos 2.

Baru berjalan sekitar 15 menit, tiba-tiba Hari kelihatan menggigil. Aku tanya “kamu sakit?” dia jawab tidak. Namun tubuhnya sangat kelihatan sekali menggigil dan berkeringat dingin, wajahnya pun semakin pucat namun dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pendakian. Tak tega aku melihatnya, kembali ku ajukan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi dia jawab tidak sakit. Tapi aku sangat bingung kenapa tidak sakit tapi bisa berkeringat dingin dan menggigil padahal saat itu cuaca pun belum berkabut dan belum terasa dingin sama sekali. Saat Hari berjalan di depan aku, barulah saya menyadarinya bahwa 2 bocah kecil yang bertemu dengan saya tadi sudah nangkring di atas keril nya. “Mas apa yang dirasa?” tanyaku, “berat” jawabnya. Wah fix sudah, padahal jika mau membandingkan keril yang dia bawa dengan keril yang aku bawa jauh lebih berat 2 kali lipat kerilku.


Puncak Majakuning via Apuy

gunung ciremai jalur apuy
Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl. Ada beberapa jalur resmi untuk menuju puncaknya, yaitu Jalur Palutungan yang terletak di Kuningan, Jalur Linggarjati yang terletak di Kuningan, dan Jalur Apuy yang terletak di Majalengka. Banyak yang bilang Apuy itu satu-satunya jalur mudah untuk mencapai puncak Gunung Ciremai.

Saat itu saya berangkat dari Jakarta menuju Cirebon, karena kebetulan teman saya yang akan mendaki bersama ke Gunung Ciremai ini bertempat tinggal di kota itu. Dari Cirebon kami menuju ke Base Camp Berod, Apuy, yang berada di Desa Argamukti, Kecamatan Majalengka, menumpang mobil pick up. Sesampainya di Base Camp Berod, Apuy, sekitar pukul 10.00, salah satu teman saya melakukan registrasi dan yang lainnya mengecek kembali barang-barang yang akan dibawa.

gunung ciremai jalur apuy
Pos Pemeriksaan Pendakian Gunung Ciremai Jalur Apuy/Gita Indah Wardani
Saya mendapat cerita dari teman yang sudah terbiasa naik turun Gunung Ciremai ini bahwa ada perubahan pada Gunung Ciremai Jalur Apuy. Dulu Pos 1 berikut base camp-nya ada di Berod. Tetapi sekarang Berod hanya jadi base camp dengan warung-warung yang berjajar rapi. Sedangkan Pos 2 Arban sekarang diubah menjadi Pos 1 Arban. Pos Tegal Pasang yang tadinya hanyalah pos bayangan sekarang menjadi Pos 2 Tegal Pasang.

Di Gunung Ciremai Jalur Apuy ini air sulit didapatkan. Sebab itulah kami membawa persediaan air yang banyak. Apalagi saat itu kami mendaki pada musim kemarau dan ada berita soal Gunung Ciremai yang terbakar. Keringnya pasti sudah kayak hati.

Base Camp Berod – Pos 1 Arban
Sekitar pukul 11.30 kami memulai pendakian Gunung Ciremai Jalur Apuy. Dari base camp ke Pos 1 trek didominasi tanah, dan menanjak. Jalur yang kami lalui penuh dengan kepulan debu tiap kali kaki kami melangkah—benar-benar kering dan gersang. Sampai di Pos 1 Arban sekitar pukul 12.30 kami pun istirahat cukup lama karena salat bergantian. Setelah itu kami melanjutkan pendakian ke Pos 2 Tegal Pasang.

gunung ciremai jalur apuy
Jalur menuju Pos 1/Gita Indah Wardani
Pos 1 Arban – Pos 2 Tegal Pasang
Dari Pos 1 ke Pos 2 trek mulai membuat dengkul lemas. Masih berupa tanah namun lebih menanjak dan didominasi oleh akar-akar pohon yang menjulang tinggi. Tak jarang kami berhenti untuk mengatur pernapasan dan melempar lelucon agar rasa lelah itu hilang.

Di tengah jalur terdapat tali webbing yang dengan sengaja diikat ke pohon untuk membantu pendakian di musim hujan ketika jalur ini basah dan sangat licin. Sampai di Pos 2 sekitar pukul 14.00 kami istirahat dan makan nasi bungkus yang kami beli saat perjalanan menuju base camp. Setelah makan kami melanjutkan pendakian menuju Pos 3.

gunung ciremai jalur apuy
Pos 1 Arban/Gita Indah Wardani
Pos 2 Tegal Pasang – Pos 3 Tegal Masawa
Perjalanan masih sama seperti menuju Pos 2. Namun karena sudah berjalan cukup lama dan jauh, pendakian pun terasa semakin berat. Sebentar-sebentar kami istirahat untuk minum, lalu kembali berjalan untuk sampai ke Pos 3.

Kami tiba di Pos 3 sekitar pukul 15.30. Setelah istirahat cukup kami langsung melanjutkan perjalanan, sebab kami akan ngecamp di Pos 5 dan Pos 5 itu masih jauh. Kebanyakan pendaki mendirikan tenda di Pos 5 karena dari sana Puncak Ciremai tidak terlalu jauh dibandingkan dari pos sebelumnya.

gunung ciremai jalur apuy
Pertemuan Jalur Apuy dan Palutungan/Gita Indah Wardani
Pos 3 Tegal Masawa – Pos 4 Tegal Jamuju
Membaca papan bertuliskan “Pos 4 ±20 menit,” hati saya sedikit lega. Tapi ternyata itu papan PHP. Dua puluh menit setelah melewati papan tersebut, Pos 4 belum terlihat juga. Kenyataannya, satu jam setelah melewati papan itu barulah kami tiba di Pos 4. Mungkin yang ngukur sembari lari ke bawah—atau sudah pro. Entahlah.

Tiba di Pos 4 sekitar pukul 17.00, kami tidak istirahat terlalu lama karena sudah semakin sore dan udara semakin dingin. Kami terus berjalan dan mengejar waktu agar sampai di Pos 5 itu sebelum Magrib.

gunung ciremai jalur apuy
Serumpun cantigi/Gita Indah Wardani
Pos 4 Tegal Jamuju – Pos 5 Sanghyang Rangkah
Jalur menuju Pos 5 masih menanjak dan terdapat pohon besar yang menutupi jalur. Setelah itu ada lahan luas sangat landai yang mungkin bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Hanya saja lahan luas ini belum terlalu dekat dari Pos 5 sehingga pendaki jarang yang mendirikan tenda di sini. Sampai di lahan luas ini waktu sudah menunjukkan pukul 17.40. Sebentar lagi Magrib. Kami berhenti untuk menyiapkan penerang dan melanjutkan perjalanan agar sampai Pos 5 tidak terlalu malam.

Tiba di Pos 5 sekitar pukul 18.30 udara semakin terasa dingin. Teman saya yang lebih dulu sampai sudah mendirikan sebuah tenda. Setelah tenda siap semua, saya dan empat teman wanita berada di satu tenda, tiga pria di tenda yang satu lagi, dan tiga pria di tenda yang satunya lagi.

gunung ciremai jalur apuy
Puncak Majakuning Gunung Ciremai/Gita Indah Wardani
Merasa sangat lelah dan mengantuk, saya pun langsung tidur. Akan tetapi saya merasa menggigil dan mual. Seorang teman wanita menyuruh saya ganti pakaian karena pakaian yang saya kenakan itu basah oleh keringat. Setelah ganti pakaian dan minum obat saya merasa lebih enakan. Saran saya, sebelum tidur gantilah pakaian kalian. Walaupun tidak terlalu basah, tetap saja pakaian kalian lembap oleh keringat. Selain itu udara juga sangat dingin.

“Summit attack” Gunung Ciremai Jalur Apuy
Kami summiting sekitar pukul 06.00. Rencana ingin melihat sunrise, kenyataannya manusia memang hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan.

Jalur menuju puncak Gunung Ciremai Jalur Apuy berbeda dari pos-pos sebelumnya. Jika trek sebelumnya melewati tanah kering dan perakaran pohon—tak jarang ada pohon besar yang tumbang menutupi jalur pendakian—jalur ketika summit attack lebih didominasi oleh bebatuan terjal, juga pasir licin yang sering membuat kaki tergelincir.

gunung-ciremai-jalur-apuy
Berfoto bersama di puncak/Gita Indah Wardani
“The power of doa” dan tekad yang kuat
Di tengah perjalanan menuju puncak saya kembali merasa mual. Saya pun mempertimbangkan antara melanjutkan pendakian atau turun kembali ke tenda. Saya melihat ke atas: puncak belum juga terlihat, hanya bebatuan besar dan pohon yang sebagian mengering. Tak jarang saya jackpot di pinggir jalur. Badan terasa melayang. Sejenak saya tertidur di pinggir jalur, agar badan terasa lebih enak. Setelah itu saya memutuskan untuk melanjutkan pendakian karena saya merasa saya sanggup.

Walaupun lama, langkah demi langkah, pantang menyerah, serta doa yang selalu tercurah, alhamdulillah akhirnya saya sampai di puncak Gunung Ciremai, Puncak Majakuning, tanah tertinggi di Jawa Barat.

Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih juga teman saya yang menemani saya sampai puncak. Terima kasih teman-teman tercinta. Terima kasih kalian sudah membaca.

Rute Pendakian Gunung Sindoro via Ndoro Arum

pendakian gunung sindoro via ndoro arum
Sindoro, salah satu gunung di Jawa Tengah dengan ketinggian 3.153 mdpl, punya banyak rute. Salah satu di antaranya adalah Ndoro Arum. Jalur Pendakian Sindoro via Ndoro Arum ini masih tergolong baru.


Base camp-nya berada di Dusun Banaran, Desa Kayugiyang, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo. Akses menuju base camp cukup mudah, hanya terpaut sekitar tujuh kilometer dari Terminal Mendolo Wonosobo. Apabila tidak membawa kendaraan sendiri, kamu bisa menyewa jasa transportasi antar-jemput yang telah disediakan oleh pihak base camp.

Biaya pendakian Gunung Sindoro via Ndoro Arum berkisar antara Rp15.000-25.000, tergantung kendaraan yang kamu gunakan. Rinciannya, Rp10.000 untuk tiket, Rp5.000 parkir motor, dan Rp15.000 parkir mobil.

gunung sindoro via ndoro arum
Pos 1 Ngrata/Tri Umami
Base camp – Pos 1 Ngrata
Dari base camp perlu waktu kurang lebih sekitar 1 jam untuk menuju Pos 1. Sepanjang jalan menuju Pos 1 kamu akan melewati jalan berbatu dan ditemani pemandangan ladang pertanian milik warga sekitar.

Sesampainya di Pos 1, yang diberi nama Ngrata, kamu akan menjumpai lahan yang cukup luas penuh pohon pinus. Di sana ada beberapa tempat yang bisa digunakan untuk membentangkan hammock dan mendirikan tenda.

pendakian gunung sindoro via ndoro arum
Hutan pinus menjelang Pos Bayangan 2/Tri Umami
Pos 1 Ngrata – Pos 2 Kayu Sawa
Seterusnya, dari Pos 1 Ngrata menuju Pos 2 Kayu Sawa perjalanan juga berlangsung sekitar 1 jam. Sekitar 30 menit dari Pos 1 Ngrata, setelah melewati banyak bonus—hutan pinus dan taman bunga—kamu akan tiba di Bukit Jenggil (Pos Bayangan 2).

Di Bukit Jenggil dari kejauhan kamu akan melihat Curug Sirendeng. Konon Curug Sirendeng hanya akan ada airnya pas musim hujan saja. Dari sana, perjalanan diteruskan ke jalur ekstrem yang hanya muat dilalui satu orang, yang banyak ditumbuhi ilalang dan diapit jurang di kedua sisi. Warga setempat menyebut ini Jalur Naga. Setengah jam dari Bukit Jenggil, lewat Jalur Naga dan jalur yang penuh kayu, kamu akan tiba di Pos 2 Kayu Sawa.

pendakian gunung sindoro via ndoro arum
Bukit Jenggil/Tri Umami
Pos 2 Kayu Sawa – Pos 3 Watu Putih
Setelah itu, dari Pos 2 Kayu Sawa menuju Pos 3 Watu Putih kamu akan berjalan sekitar 50 menit. Setengah jam perjalanan antara Pos 2 dan Pos 3 kamu juga akan menjumpai sebuah pos bayangan (Pos Bayangan 3), lewat trek yang masih alami khas Gunung Sindoro.

Lalu, dari Pos Bayangan 3 menuju Pos 3 Watu Putih kamu mesti melanjutkan perjalanan sekitar 20 menit. Rute yang harus dilalui berupa tangga, biasa disebut “Rute Ambal 1000 Undak-undakan.”

pendakian gunung sindoro via ndoro arum
Antara Pos 3 dan Pos 4 Gunung Sindoro via Ndoro Arum/Tri Umami
Pos 3 Watu Putih – Pos 4 Uci-uci
Dari Pos 3 Watu Putih menuju Pos 4 Uci-uci perjalanan berlangsung sedikit lebih lama daripada etape-etape sebelumnya, yakni sekitar 70 menit. Dari Pos 3 Watu Putih menuju Pos Bayangan 4 perlu waktu sekitar 40 menit.

Kemudian dari sana ke Pos 4 Uci-uci pendakian akan berlangsung sekitar 30 menit. Kamu akan melewati tanjakan yang namanya lumayan lucu, yakni Mertua Galak. Tak jauh dari sana ada padang edelweiss yang cukup luas.

pendakian gunung sindoro via ndoro arum
Puncak Gunung Sindoro via Ndoro Arum/Tri Umami
Pos 4 Uci-uci – puncak
Etape terakhir dari Jalur Pendakian Gunung Sindoro via Ndoro Arum adalah perjalanan dari Pos 4 menuju puncak. Biasanya, para pendaki berkemah di pos ini sebelum melakukan summiting. Dari Pos 4, waktu yang diperlukan untuk mencapai titik tertinggi Gunung Sindoro adalah sekitar 1 jam.

Jadi, total waktu yang diperlukan untuk melakukan pendakian Gunung Sindoro via Ndoro Arum adalah sekitar 5-6 jam.

Puncak Gunung Andong

pendakian gunung andong
Hanya bisa berencana

Salah satu cerita yang saya ingat adalah perjalanan kedua kali saya ke Gunung Andong. Kali itu saya berangkat hanya berdua saja dengan si doi. Berangkat dari Semarang sekitar jam 23.00 WIB, sepanjang perjalanan kami diguyur hujan. Cuaca saat itu memang sedang tak bersahabat.

Sampailah kami di base camp jam 01.00 WIB dini hari, setelah sempat nyasar karena lupa jalan ke sana. Di depan Base Camp Pendem, kami benar-benar bingung, soalnya base camp sepi, tidak ada pendaki sama sekali. Suasananya berbanding terbalik dengan saat kami ke tempat ini setahun yang lalu. Namun, karena sudah lelah dan kedinginan, suasana sepi itu tak kami hiraukan. Kami langsung tidur di pendopo base camp.

Jam 04.00 WIB pagi, kami dibangunkan oleh ibu pemilik base camp. Tak lama, teh hangat dan camilan tersaji. Kami pun ngobrol-ngobrol dengan sang ibu—yang pada akhirnya kami panggil Umi. Karena keramahannya, sebentar saja bagi Umi sampai kami dianggap seperti anak sendiri. Senangnya.

pendakian gunung andong
Jalan santai menuju puncak/Resti Tri Noviyanti
Semula, kami hendak mendaki Gunung Andong sehabis Subuh supaya bisa melihat sunrise. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Si doi agak tidak enak badan. Apa boleh buat, akhirnya kami urungkan niat mendaki untuk menikmati matahari terbit. Umi memberi masukan agar kami mendaki siang saja saat badan sudah kembali prima.

Siangnya, setelah melakukan persiapan—termasuk makan—kami pun memulai pendakian. Kami naik lewat utara dan turun lewat selatan. Pendakian kali itu perlu waktu 1,5 jam. Kami memang termasuk pejalan santai, enggan terburu-buru, dan lebih suka menikmati perjalanan itu sendiri.

Perasaan yang bercampur aduk
Ini adalah pendakian pertama setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawa dan mencederai tulang punggung saya. Sebenarnya saya belum boleh nanjak. Tapi, karena sudah rindu sekali dengan gunung, saya membujuk si doi untuk menemani saya.

pendakian gunung andong
Areal puncak Gunung Andong/Resti Tri Noviyanti
Makanya setiba di puncak saya sangat bersyukur sebab masih diberi kesempatan untuk menikmati keindahan alam dan keagungan Tuhan. Dari titik tertinggi Gunung Andong, kamu bisa melihat Gunung Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Ungaran jika hari cerah.

Hanya sebentar kami di puncak. Selepas foto-foto dan menyaksikan keindahan alam, kami turun. Sepanjang jalan turun, kami sering berpapasan dengan pendaki-pendaki lain. Tegur sapa terjadi. Inilah ciri khas mendaki gunung di Indonesia.

Tapi, barangkali karena yang mendaki Gunung Andong banyak sekali, dan banyak juga yang belum sadar akan kewajiban menjaga kelestarian alam, banyak sampah berserakan yang kami temukan sepanjang jalur pendakian. Andai saja kami membawa kresek lebih—bukan cuma satu—atau trash bag pastilah kami akan bisa memungut lebih banyak sampah. Pasti gunung akan jadi lebih asri seandainya makin banyak pendaki yang membawa sampahnya turun.

Sebentar saja, kami sudah kembali ada di base camp. Perasaan saya campur aduk, antara senang bisa ke Gunung Andong lagi dan kecewa karena sampah-sampah yang mengotori jalur. Di tempat Umi, kami melepas penat dahulu—tiga hari—sebelum kembali ke kota. Makanan yang enak tapi murah itu memang bikin betah.

Rute Pendakian Gunung Latimojong via Dusun Karangan

mendak gunung latimojong



Setelah lama memendam keinginan untuk berada di puncak tertinggi Sulawesi, akhir Juni 2018 kemarin saya mendaki Gunung Latimojong (3.478 mdpl) untuk menemani dua orang teman dari Jawa.





Puncak dari gunung yang melintang dari selatan ke utara ini bernama Rantemario. Ini adalah salah satu dari tujuh puncak tertinggi di tujuh regional di Indonesia (The Seven Summits of Indonesia).

Untuk mendaki Gunung Latimojong, kami berangkat naik mobil pick-up dari Makassar menuju Kabupaten Enrekang—sisi barat Gunung Latimojong—malam-malam sekitar pukul 19.00 WITA. Setelah berkendara semalam, kami tiba di Enrekang sekitar subuh. Dari sana kami melanjutkan perjalanan selama empat jam ke base camp pendakian di Dusun Karangan, lewat jalan yang rusak di sana-sini, berliku, dan naik-turun. Perjalanan kami sempat terhenti karena ada sebuah truk yang bermasalah dan pengemudinya memerlukan bantuan.

Setiba di base camp pukul 18.30 WITA, kami melakukan registrasi kemudian mulai mendaki Gunung Latimojong. Inilah catatan tentang jalur pendakian menuju Puncak Rantemario.

mendaki gunung latimojong
Suasana Pos 1/Misbahuddin Tri Susanto
Menuju Pos 1 (Buntu Kaciling)
Pada fase-fase awal mendaki Gunung Latimojong, trek berupa jalan setapak dan cukup jelas arahnya. Meskipun demikian, pendaki harus hati-hati dan waspada, sebab ada beberapa jalur yang berpotensi mengecoh, misalnya di jembatan pertama yang berjarak sekitar 250 meter dari pos di Dusun Karangan.

Menuju Pos 1 kita berjalan menyusuri perkebunan kopi milik warga. Treknya terjal dan becek, medannya berbukit-bukit, hingga tiba di Pos 1 yang berada di hamparan bukit yang indah. Untuk menuju Pos 1 dari base camp perlu waktu sekitar 2 jam.

Menuju Pos 2 (Gua Sarung Pa’pak)
Selepas Pos 1, kita akan melewati tanjakan terjal yang akan menghajar sampai mendekati Pos 2. Dari sana, kita akan menjumpai turunan yang di sebelah kiri diapit oleh jurang—jadi harus ekstra waspada. Jalurnya sempit dan banyak akar melintang yang jarang ditemui di gunung-gunung lain. Apabila hujan, kondisinya akan semakin parah karena licin.

Apabila sudah terdengar suara aliran sungai, artinya Pos 2 sudah tak jauh lagi. Malam itu kami memilih untuk mendirikan tenda di Pos 2 dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya pukul 10.00 WITA.

mendaki gunung latimojong
Aliran sungai di Pos 2/Misbahuddin Tri Susanto
Menuju Pos 3 (Lantang Nase)
Dari Pos 2 menuju Pos 3 perlu waktu satu jam. Jalurnya seratus persen tanjakan terjal. Banyak yang menyebut ini sebagai tanjakan terberat saat mendaki Gunung Latimojong. Untuk memudahkan, terkadang para pendaki mengeluarkan webbing di sini. Namun, walaupun tidak ada webbing, di beberapa titik ada rotan cukup panjang yang akan membantu para pendaki untuk melewati tanjakan.

Apabila tanjakan sudah tidak terlalu terjal, kita bisa berbahagia sebab sebentar lagi akan tiba di Pos 3. Pos ini berupa tanah datar. Sinyal ponsel masih bisa diterima, meskipun hanya dari operator Telkomsel.

Menuju Pos 4 (Buntu Lebu)
Etape ini tidak seekstrem sebelumnya. Dari Pos 3 perlu waktu 1,5 jam untuk mencapai Pos 4. Di pos yang berupa tanah rata ini tidak terdapat sumber air.

Menuju Pos 5 (Soloh Tamah)—cocok untuk mendirikan tenda
Pos 5 cocok untuk berkemah. Terdapat areal yang cukup luas dan dapat menampung banyak tenda. Selain itu di sini juga ada sumber mata air yang dapat dicapai dengan menuruni lereng terjal sejauh sekitar 200 meter.

mendak gunung latimojong
Antara Pos 7 dan puncak/Misbahuddin Tri Susanto
Menuju Pos 6 (Buntu Latimojong)
Dari Pos 5 menuju Pos 6 jalur masih terjal, mirip dari Pos 2 ke Pos 3. Banyak akar pohon yang dapat digunakan sebagai pegangan. Waktu tempuh dari Pos 5 menuju Pos 6 sekitar 1 jam. Sebaiknya, agar tak perlu membawa keril untuk perjalanan berikutnya, berkemahlah di Pos 5.

Menuju Pos 7 (Kolong Buntu)
Perjalanan dari Pos 6 ke Pos 7 dapat ditempuh selama 1,5 jam melewati tanjakan yang tak terlalu terjal dan menembus kanopi hutan. Semakin mendekati Pos 7, vegetasi semakin terbuka dan sinar matahari mulai kembali bisa dirasakan. Perlahan-lahan pohon cantigi mulai mendominasi pandangan mata di kanan-kiri jalur.

Pos 7 tidak terlalu luas. Turun sedikit ke arah kiri dari Pos 7, ada sungai yang sangat jernih. Di bawahnya ada air terjun yang dasarnya berupa kolam yang bisa dipakai untuk berenang—tapi airnya sangat dingin!

mendaki gunung latimojong
Mendung di Puncak Rantemario Latimojong/Misbahuddin Tri Susanto
Menuju Puncak Rantemario
Selepas dari Pos 7 kita akan langsung (kembali) berhadapan dengan tanjakan sangat terjal. Namun, selepas itu kita akan berjalan di areal terbuka diselimuti rerumputan seperti padang sabana. Dari sana, kita akan melewati telaga-telaga kecil—namun pas kami ke sana kemarin telaga tersebut sedang kering. Dari telaga, bisa dibilang jalur sudah landai dan suasana puncak sudah mulai terasa.

Di pinggir telaga, kita akan menemukan pertigaan: jalur menuju Puncak Rantemario dan Puncak Nenemori. Memilih belok kanan, kita akan tiba di Puncak Nenemori. Sementara itu, belok kiri akan membawa kita ke Puncak Rantemario.

“Booking Online” Gunung Semeru

Aktivitas pendakian ke Gunung Semeru dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Hanya saja, kini pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sudah memberlakukan kuota sebanyak 600 orang per hari. Untuk kemudahan dalam memperoleh kuota izin pendakian, ada cara efektif yang bisa dimanfaatkan oleh para pendaki, yakni dengan “booking online” Gunung Semeru.


Booking online Gunung Semeru telah berjalan sejak tahun 2014. Keberadaan layanan ini memungkinkan para pendaki untuk mengajukan izin pendakian ke Gunung Semeru tanpa harus datang ke Kota Malang. Sebagai gantinya, pendaki tinggal mengakses situs resmi TNBTS yang beralamat di Bromotenggersemeru.org.


Melintasi Oro-oro Ombo/Jelajah Pendaki Indonesia
Prosedur “Booking Online” Gunung Semeru
Cara melakukan booking online pendakian Gunung Semeru cukup mudah. Kamu bisa menuju ke situs resmi TNBTS dan menuju ke seksi “Booking Online.” Prosedurnya adalah:

Pendaftaran pendakian secara online hanya bisa dilakukan setidaknya 3 bulan sebelum pelaksanaan pendakian atau paling lambat 3 hari sebelum hari pendakian.
Booking online dilakukan dengan mengisi secara lengkap formulir biodata online di alamat bookingsemeru.bromotenggersemeru.org. Data tersebut mencakup beragam informasi pribadi, termasuk alamat email aktif.
Lakukan pembayaran biaya masuk pendakian Gunung Semeru sesuai dengan aturan yang berlaku. Untuk pendaki WNI, dikenakan tarif Rp 17.500 pada hari biasa dan Rp 22.500 pada hari libur. Sementara itu, untuk pendaki WNA dikenakan biaya Rp 210.000 pada hari biasa dan Rp 310.000 untuk hari libur.
Cek email yang digunakan untuk mengetahui adanya link untuk konfirmasi pembayaran dari administrator TNBTS.
Konfirmasi pembayaran dapat dilakukan dengan mudah, cukup dengan mengunggah bukti transfer pada link konfirmasi yang diterima di email. Pengunggahan bukti transfer tersebut harus dilakukan pada tenggat 1×24 jam setelah penerimaan kode booking. Ketika pengunggahan bukti transfer melewati batas 1×24 jam yang telah ditentukan, kode booking yang diterima akan hangus. Dalam kondisi seperti itu, kamu terpaksa harus melakukan booking ulang. Selain itu, perlu diketahui bahwa pengelola TNBTS sejak tanggal 14 Desember 2018 tidak menerima refund ketika kode booking hangus.
Hal yang perlu diketahui oleh para pendaki, pendaftaran izin pendakian Gunung Semeru kini sepenuhnya dilakukan secara online. Pendaki yang tidak melakukan booking online tidak diperbolehkan melakukan pendakian.

Informasi Penting yang Wajib Diketahui saat Mendaki Gunung Semeru
Setelah mendapatkan kode booking, kamu sudah bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi terjalnya medan Gunung Semeru. Jalur pendakian menuju Puncak Mahameru yang memiliki ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) sangat panjang, bisa mencapai 21 km.

Pendakian dimulai dari Ranu Pane. Pada jalur pendakian menuju puncak, ada beberapa lokasi yang memiliki pemandangan indah dan menjadi tempat favorit para pendaki. Sebuah danau cantik bernama Ranu Kumbolo adalah salah satunya. Banyak pendaki yang menjadikan danau ini sebagai pemberhentian terakhir.

Selanjutnya, ada pula padang bunga Oro-oro Ombo yang berada sangat dekat dengan Ranu Kumbolo. Di area ini, kamu dapat menjumpai hamparan luas berhiaskan bunga berwarna ungu yang begitu cantik. Bunga ungu tersebut bernama bunga verbena yang memiliki nama latin Verbena brasiliensis vell.

Nah, itulah informasi terkait prosedur booking online Gunung Semeru yang perlu diketahui. Selamat mendaki dan salam lestari!

Pendakian Gunung Kencana

gunung kencana


Sudah pernah mendaki Gunung Kencana di daerah Puncak Bogor? Kalau belum, sekali-sekali kamu harus coba. Dari jalur pendakiannya kamu bisa melihat pemandangan yang sangat memikat, yakni Gunung Gede-Pangrango yang gagah.

Kalau kamu sudah pernah ke Telaga Warna Puncak Bogor, Gunung Kencana ini terletak satu kawasan dengan wisata telaga. Jika hendak ke Telaga Warna ambil jalur kanan, tapi kalau mau ke Gunung Kencana pilih jalur kiri.

Gunung Kencana sangat mudah diakses dengan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi. Namun jangan sekali-kali mencoba berjalan kaki dari pintu masuk wisata, karena jauh sekali dan menguras tenaga, nanti yang ada sebelum mendaki sudah kelelahan duluan.

gunung kencana
Foto di “gerbang” Tanjakan Sambalado/Fidha Riani
Untuk sampai di Base Camp Gunung Kencana dari pintu masuk kawasan wisata, kamu perlu waktu sekitar dua jam. Sepanjang perjalanan menuju base camp, hamparan kebun teh yang luas sangat memukau mata. Tapi, kamu mesti hati-hati. Karena jalannya berbatu, menanjak, dan menurun, kalau hujan rute ini lumayan bikin kewalahan. Saya, Jamal, Ari, Nauval, Andan dan Haidar, memilih menggunakan motor menuju titik awal pendakian Gunung Kencana.

Tapi karena jauh dan treknya lumayan cadas, motor sering ngebul, mogok tiba-tiba, dan mengeluarkan aroma kampas rem. Alhasil kami jadi kami sering gantian mendorong, juga beberapa kali berhenti untuk mendinginkan mesin motor. Bahkan, dua orang teman kami terpaksa jalan kaki sampai base camp karena timbel motornya sudah bau sangit. Takut terjadi hal-hal yang merepotkan, motor pun dititipkan di pintu masuk kawasan wisata.

Badai pun tiba
Pukul 16.30 kami berenam tiba di base camp. Kami lalu istirahat, makan, salat, lalu mengecek packingan kami. Sore itu langit tampak tidak bersahabat. Mendungnya sudah terlihat dari kejauhan.

Saya, Andan, Jamal, dan Nauval sudah siap untuk segera mendaki, sementara dua orang teman yang berjalan kaki tadi baru tiba di base camp. Mereka mempersilahkan kami untuk mendaki duluan, sebab perlu istirahat sejenak.

Kami berempat bergegas menuju Pos I yang menjadi tempat pendaftaran dan mendapatkan simaksi. Jaraknya sekitar 15 menit perjalanan dari base camp melewati perkebunan teh yang sangat indah. Namun sayang sekali kami tidak bisa menikmati pemandangan itu terlalu lama, karena tiba-tiba suara gerimis dan petir mulai terdengar.

gunung kencana
Suasana dalam tenda/Fidha Riani
Setiba di Pos I, kami membayar Rp 20.000 per orang untuk menginap satu malam. Namun karena saat itu hujan deras disertai angin dan kilat-petir yang sangat menakutkan, kami berempat pun memilih untuk berteduh sementara di pos. Sudah pukul 20.00 malam, hujan tak kunjung reda. Selain tiduran kami mengisinya dengan bercanda, ngopi, dan galau bersama.

Pukul 21.00 hujan mulai reda walaupun masih gerimis tipis-tipis. Kami sudah sepakat mau tetap mendaki. Lama pendakian Gunung Kencana adalah sekitar 2-3 jam, kalau berjalan santai. Dengan jas hujan cebanan, kami siap menerobos hujan.

Keistimewaan Gunung Kencana ini adalah tangga terjal menjulang tinggi ke atas yang diberi nama “Tanjakan Sambalado.” Sepedas namanya, pedas juga rasa pegal kaki saat melintasinya—lutut menempel ke dagu, saat hujan treknya licin, dan banyak pacet yang gigitannya bikin kaki senat-senut.

Bagi Jamal dan Nauval ini adalah pengalaman pertama mendaki. Mereka masih menyesuaikan diri, sering berhenti untuk mengatur napas.

Pertemuan pertama dengan si “kakek”
Andan yang sudah sering mendaki berjalan cepat di depan supaya bisa segera mendirikan tenda. Sementara itu saya, Jamal, dan Nauval masih sering berhenti. Pandangan mata saya yang sangat sensitif ini terus melihat sekelebat-sekelebat, sesuatu yang muncul lalu cepat-cepat menghilang—namun tak pernah saya hiraukan.

Sampai akhirnya kami bertiga istirahat di sebuah tempat landai yang di sana terdapat batang pohon melengkung yang menghalangi jalur. Apabila hendak melewatinya, ada dua pilihan: jongkok atau melangkahinya.

Seperti biasa, saat beristirahat kami banyak ngobrol seputar pendakian. Namun, di saat yang bersamaan entah kenapa saya membatin, “Kok kita bertiga tapi kayak lebih dari bertiga, ya?”

Mata saya pun mulai mencari-cari keganjilan. Saat pertama kali menyapukan pendangan, saya tak melihat apa-apa. Kami pun melanjutkan obrolan. Namun rasa penasaran saya malah semakin tinggi. Lalu, pelan-pelan, saya memutar kepala dan mendapati seorang kakek tua sedang duduk di tengah-tengah di antara Jamal dan Nauval.

gunung kencana
Puncak Kencana/Fidha Riani
Spontan saya kaget dan berteriak kecil—wajah si kakek begitu menyeramkan. Saya lalu meminta Jamal dan Nauval untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan menuju puncak, tak hanya sang kakek yang terus mengikuti kami di belakang. Banyak anak kecil yang berlarian, terkadang tante kunti seliweran sambil tertawa-tertawa centil. Makanya sepanjang perjalanan saya terus menunduk, membaca ayat Alquran apa pun yang saya bisa.

Syukur sesampai di puncak mereka sudah tidak terlihat lagi, walaupun sesekali suara gaduh masih hilang timbul.

Kami tiba di puncak sekitar pukul 11.15 dan bergegas membantu Andan mendirikan tenda. Perut lapar, kaki cenat-cenut karena darah dihisap pacet, rambut sudah lepek dan klimis akibat kehujanan.

gunung kencana
Pemandangan keren khas pegunungan/Fidha Riani
Selesai mendirikan tenda kami bergegas masuk menghangatkan diri dan menyantap nasi padang yang kami bawa dari bawah. Rasanya nikmat sekali makan makan nasi padang hujan-hujan di puncak gunung yang hawanya dingin begini.

Kabut tipis pagi hari di puncak Gunung Kencana
Rupanya karena kejadian semalam, saya tidak bisa tidur, dilanda demam, dan suara saya menghilang. Saya memang biasanya seperti itu setelah melihat “mereka” yang tidak kelihatan itu. Pagi ini saya tidak menemukan sunrise dan lautan awan karena memang mendung dan ditutup kabut. Tapi, tetap saja indah.

Setelah selesai masak lalu makan bersama, pukul 14.00 siang kami turun. Semula kami berencana turun jam 10 pagi, namun tertunda karena demam saya tak kunjung turun. Lucunya, kami yang naik mulanya berenam, saat pulang jadi berduabelas.

Karena saya dan Jamal pernah kecelakaan, kaki kami suka linu dalam perjalanan turun. Alhasil, kamu berdua jalan paling lambat dan setia di posisi paling belakang.

gunung kencana
Rombongan turun/Fidha Riani
Awalnya perjalanan turun berlangsung biasa-biasa saja. Kemudian, sebelum Tanjakan Sambalado, saya sempat terpeleset dua kali sampai-sampai saya tiba-tiba merasakan lelah yang luar biasa. Saya juga sedikit pusing. Jamal pun tak berani membiarkan saya berjalan sendirian dan selalu melangkah tepat di belakang saya.

Di depan Tanjakan Sambalado, saya jadi membayangkan bahwa jalur ini pasti akan terasa lebih sadis kalau tak ada tanjakan itu. Para pendaki pasti akan selalu terpeleset karena licin, sebab medannya miring dan terdiri dari tanah liat. Belum lagi ada pacet.

Ditemani  “mereka” selama perjalanan turun
gunung kencana
Tanjakan Sambalado/Fidha Riani
Menuruni Tanjakan Sambalado bukanlah perkara mudah. Lutut saya terasa jauh lebih lemas, jari-jari kaki mesti lebih kuat menahan beban badan. Melihat Tanjakan Sambalado di siang hari, Jamal nyeletuk, “Wah, gila, sih! Semalam kita hujan-hujanan, licin, ngelewatin jembatan sadis kayak gini.”

Nah, saat saya menuruni tanjakan ini, Jamal iseng memotret saya dari belakang. Hasil foto dari Jamal itulah yang bikin saya tahu bahwa ada sesuatu yang mengikuti saya waktu perjalanan turun.

Saat itu saya hanya merasakan bahwa ada yang memperhatikan saya selain Jamal. Namun saya selalu berpikir positif bahwa tak ada apa-apa di sana.

Setiba di bawah Tanjakan Sambalado, saya cuci kaki, tangan, dan muka di pancuran dekat pos bergantian dengan Jamal. Sambil menunggu Jamal bersih-bersih, saya pun ikut iseng motret Tanjakan Sambalado yang bagi saya sangat menawan itu.

Keisengan motret itu juga kembali membuahkan hasil: ada sesuatu lagi yang muncul di foto itu. Tapi, teman-temanlah yang lebih ngeh sama hasil foto saya. Melihatnya sendiri barangkali saya tak mungkin sadar apa saja yang ada di foto-foto itu.

Di mana saja, bagaimanapun juga, pasti ada penunggunya. Ada yang baik juga ada yang suka iseng bikin kaget. Karena itu, penting sekali untuk menjaga sikap di mana pun kita berada—walaupun tak ada jaminan juga buat tidak dibikin kaget oleh mereka.